Minggu, 13 Februari 2011

Keterangan Para Ulama Tentang Bid’ahnya Perayaan Maulid

                                                                             
                                                                               
Bismillahir rohmaanir rohiim..
Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabraakatuh ..

Sesungguhnya segenap pujian hanyalah milik Allah, kami puji Dia, kami memohon pertolongan, ampunan serta taubat kepada-Nya. Kami berlindung kepada  Allah dari kejahatan diri-diri kami dan dari kejelekan amal perbuatan kami. Siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, niscaya tidak  ada yang  dapat  menyesatkannya, dan siapa yang   disesatkan Allah maka tidak ada yang dapat memberi petunjuk kepadanya.

Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi melainkan Allah semata, tidak ada sekutu bagi Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah hamba dan utusan-Nya.Wa Ba'du

Sesungguhnya seutama-utama kewajiban atas seorang mu’min adalah  keyakinannya, yaitu beriman secara mantap bahwa Allah telah menyempurnakan agama-Nya bagi kita dan mencukupkan nikmat-Nya atas kita dengan dibangkitkannya serta  diutusnya  seorang  rasul yaitu Nabi  kita  Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. 

Allah    subhanahu  wa   ta’ala berfirman:

“Pada   hari   ini   te lah   Kusempurnakan   untuk   kalian   agamamu   dan   telah   Kucukupkan kepadamu      nikmat-Ku,    dan   telah  Ku-ridhai   Islam  itu  menjadi   agama    bagimu.” (Q.S.  Al-Maidah3).

Dan   Rasulullah     shallallahu   ‘alaihi  wasallam     telah  bersabda:  
“Aku  telah  meninggalkan kalian    atas  hujjah  yang terang,  malamnya seperti  siangnya, maka    orang   yang   menyimpang dari    hujjah    (keterangan)    tersebut    setelahku     pasti   akan    binasa.”  
(H.S.R.Ibnu    Majah. Dishahihkan oleh  Syaikh   Al-Albani  dlm  Shahih  Sunan  Ibnu  Majah, hadits  no.5)
  
Oleh karena itu   bagi   seorang mu’min yang menginginkan dan sedang mencari jalan keselamatan harus membatasi   tingkah   laku   dan   ibadahnya   sesuai   dengan   apa   yang   disyariatkan   oleh   Allah subhanahu   wa   ta’ala untuknya   melalui   lisan   Rasulullah   shallallahu   ‘alaihi   wasallam,  serta tidak   boleh   ridha   terhadap   dirinya   atau   orang   lain   siapapun   dia   jika   ada   yang   membuat syariat    dalam     agama     Allah   subhanahu      wa   ta’ala  atau    menganggap sesuatu    itu   baik berdasarkan   akalnya   semata   dan   hawa   nafsunya   apa-apa   yang   tidak   diizinkan   oleh   Allah subhanahu wa ta’ala.

Maka orang yang mencari kebenaran dan mencintai As-Sunnah dia tidak akan beramal dengan suatu amalan yang tidak diperbolehkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala baik perupa perayaan, atau  peringatan, atau ibadah lainnya, dia hanya akan beramal dengan amalan yang ada keterangannya, Lebih-lebih  lagi  jika  perbuatan tersebut   dilakukan dengan niat ibadah dan mendapatkan  pahala. Dari   sini  kita  dapat memahami ucapan ulama :  “ Segala     macam      ibadah    dilakukan harus dengan     tauqifiyyah“,    yaitu   harus berdasarkan  nash    dari  Al-Qur’an     atau  As-Sunnah,  tidak ada   tempat    bagi   akal   untuk membuat syariat    atau  mengatakan       baik buruknya      suatu    perbuatan.  Apabila    engkau menginginkan dalil-dalil maka tidak terhitung banyaknya, diantaranya :

A.     Firman     Allah   subhanahu      wa   ta’ala:
“Tentang    sesuatu   apapun    kamu    berselisih,  maka   putusannya (terserah) kepada Allah.” (Q.S. Asy-Syura 10)

B.     Firman      Allah    subhanahu      wa   ta’ala:
“Katakanlah:      Jika   kamu    (benar-benar)    mencintai Allah,    ikuti  aku,   niscaya  Allah   mengasihi     dan   mengampuni       dosa-dosamu.”     (Q.S.    Ali Imran 31)

C.    Sabda     Nabi   shallallahu    ‘alaihi  wasallam:
“Siapa   yang   mengada-adakan   sesuatu   dalam agama      kami    ini,  sesuatu    yang    tidak   ada   dasar    daripadanya,      maka    dia   itu  pasti  tertolak.” (H.S.R. Bukhari dan Muslim)

D.    Sabda     Nabi   shallallahu    ‘alaihi  wasallam:  
“Janganlah     kalian   mengada-adakan   perkara-  perkara   yang   baru   dalam   agama,   karena   setiap   perkara   yang   baru   adalah   bid’ah   dan setiap   bid’ah   adalah   sesat.”   (H.S.R.   Abu   Daud   dan   Ibnu   Majah. Dishahihkan oleh Syaikh  Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Daud, had its no. 3851).

Saya   mohon   agar   anda   berhenti   sejenak   memperhatikan   ucapan   yang   sangat   teliti, diucapkan bukan berdasarkan hawa nafsu tetapi berasal dari wahyu, yaitu …..  (karena setiap   perkara   yang   baru   adalah   bid’ah   dan   setiap   yang   bid’ah   adalah   sesat) ,   sungguh jelas  bagimu  bahwa  kata  “setiap”  termasuk  dari  ucapan-ucapan yang mempunyai arti umum, mencakup segala macam bid’ah tanpa terkecuali.

E.     Ucapan Ibnu Mas’ud radliyallahu 'anhu:  “Ikutilah kalian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan janganlah kalian berbuat bid’ah, maka itu  sudah cukup bagimu.”

Akhi Mu’min…

Apabila dalil-dalil di atas yang merupakan pemahaman aqidah telah engkau yakini   secara mantap dan diterima dengan benar maka engkau dapat menilai setiap ibadah   baik dalam bentuk perkataan atau amalan berdasarkan standar ini, apakah dia itu   disyariatkan atau merupakan suatu hal yang diada-adakan apakah dia itu sunnah atau   bid’ah. Kita ambil contoh perayaan memperingati maulid Nabi Muhammad shallallahu     ‘alaihi wasallam, kecintaan kita, imam, teladan, dan pemimpin kita ke jalan Allah subhanahu wa ta’ala  yang lurus, penutup para nabi dan tuan para rasul, pemimpin orang-orang yang mempunyai wajah cemerlang (merupakan keistimewaan umat Nabi    Muhammad  shallallahu ‘alaihi  wasallam bahwa  wajah-wajah   mereka   cemerlang   di   hari  akhir dikarenakan   bekas   air   wudhu’)   yang diutus sebagai imam dan rahmat bagi seru sekalian alam. Dan kami akan bahas masalah ini dengan   adil   dan   jujur   terlepas   dari   hawa   nafsu dan segala   ketetapan   yang   dibuat   manusia pada  masa  lalu  dan  menimbangnya dengan timbangan syariat serta menilainya berdasarkan kitab Allah    subhanahu wa ta’ala dan sunnah nabi-Nya   shallallahu ‘alaihi  wasallam  yang bersabda:

“Sesungguhnya        sebenar-benar     ucapan    adalah    kitab   Allah  dan   sebaik-baik    petunjuk adalah      petunjuk    Nabi    Muhammad       shallallahu    ‘alaihi  wasallam    dan      sejelek-jelek  perkara adalah   sesuatu   yang   diada-adakan,  dan   setiap   sesuatu   yang   diada-adakan   adalah   bid’ah   dan setiap bid’ah adalah sesat.” (Hadits shahih riwayat Muslim).

Beliau    juga   telah   mewasiatkan       kepada    kita  melalui   haditsnya   agar   kita  berpegang   teguh dengan   petunjuk   sebaik-baik   generasi   dan   sebersih-bersihnya, beliau bersabda:
“Sebaik-baik manusia      adalah   generasiku, kemudian      orang-orang    sesudah mereka,     kemudian     orang-orang sesudah   mereka.”  (H.S.R   Bukhari   dan Muslim).

Dan   hanya   kepada   Allah subhanahu wa ta’ala kita memohon agar memperlihatkan kepada kami bahwa yang haq itu haq dan memberinya kemampuan   untuk   mengikutinya   dan   memperlihatkan   kepada   kami   bahwa yang   batil   itu batil dan memberinya kemampuan kepada kami untuk menjauhinya.

Awal     Mula     Berkembangnya        Peringatan     Maulid     Nabi    Muhammad shallallahu     ‘alaihi wasallam Al-Hafizh Ibnu Katsir menyebutkan dalam kitabnya Al-Bidayah  wan  Nihayah  (11\172) bahwa Daulah   Fathimiyyah   ‘Ubaidiyyah   nisbah   kepada   ‘Ubaidullah   bin   Maimun   Alqadah   Alyahudi yang memerintah Mesir dari tahun 357 H-567  H.  Merekalah  yang  pertama-tama merayakan perayaan-perayaan        yang    banyak    sekali   diantaranya     perayaan    Maulid    Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.  Keterangan  ini  ditulis  juga  oleh  Al-Maqrizy  dalam  kitabnya  Al-Mawa’idz   wal   I’tibaar   (1\490),   dan   Syaikh   Muhammad   Bakhit   Al-Muthi’i mufti Mesir dalam kitabnya Ahsanul Kalam fiima Yata’allaqu bissunnah wal Bid’ah minal Ahkam [halaman 44- 45],   dan   Syaikh    ‘Ali  Mahfudz    menyetujui    mereka     dalam   kitabnya   yang   baik   Al-Ibdaa’  fii Madhaarr Al-Ibtidaa’ [halaman 251] dan selain mereka masih banyak lagi. Jadi yang pertama- tama     mensyariatkan       perayaan     ini  mereka     adalah    orang-orang     Zindiq    (menampakkan keislaman untuk menyembunyikan kekafiran) Al-‘Ubaidiyyun dari Syi’ah Rafidhah keturunan Abdullah bin Saba Al-Yahudi. Mereka tidak mungkin melakukan yang demikian karena cinta kepada      Rasulullah  shallallahu    ‘alaihi  wasallam    tetapi    karena    ada   maksud      lain  yang tersembunyi.

Sebagaimana   kita   ketahui   bahwa   segala   kebaikan   didapat   dengan mengikuti   petunjuk   Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam       dan   tiga   generasi terbaik   (Shahabat,   tabi’in   dan   Tabi’ut   Tabi’in) dan    siapa     yang mendekatkan       diri  kepada   Allah   subhanahu   wa   ta’ala dengan   cara beribadah   yang   belum   pernah   dilakukan   pada   masa   yang   terbaik tersebut maka   ibadahnya tertolak,    ia  menanggung       dosanya    meskipun dilakukan dengan    penuh     keikhlasan    dan kesungguhan.
Dan peringatan Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam  sebagaimana engkau ketahui wahai saudaraku:

1.      Belum   pernah   dilaksanakan   oleh   Rasulullah  shallallahu  ‘alaihi  wasallam,         tidak juga  Khulafa   Ar-Rasyidin   dan   selain   mereka   dari   para   shahabat   serta   para   Tabi’in   yang mengikuti     para   shahabat    dengan     kebaikan    yang   merupakan      generasi   terbaik,   dan mereka     adalah    orang-orang     yang   paling   mengerti    tentang    As-Sunnah      dan   paling sempurna   cintanya   kepada   Rasulullah hallallahu  ‘alaihi  wasallam  dan paling depan dalam   mengikuti   syariatnya,   seandainya   peringatan   maulid  itu   baik   niscaya   mereka akan mendahului kita untuk memperingatinya.
2. Sebagaimana         engkau     ketahui    yang    pertama-tama melaksanakannya adalah orang-orang Zindiq masa pemerintahan Fathimiyyah di abad ke-empat hijriyyah.

3.      Menyerupai       orang-orang      Nashrani     yang    memperingati     kelahiran     Al-Masih     ‘Alaihis Salam,   padahal   kita   telah   dilarang   untuk   menyerupai   mereka   dan   meniru   mereka dalam hari raya mereka.

4.      Sesungguhnya   merayakan   Maulid   Nabi   dan   yang   semisalnya   dapat   dipahami   bahwa Allah    subhanahu       wa   ta’ala belum      menyempurnakan          dien   kepada    umat     ini,  dan Rasulullah   shallallahu ‘alaihi  wasallam  belum   menyampaikan   apa   yang   seharusnya dilakukan   oleh   umat,   dan   generasi   yang   utama belum sampai kepada pengagungan terhadap       Rasulullah      shallallahu     ‘alaihi    wasallam     dalam       mencintainya,       dan memuliakannya   dengan   sebenar-benarnya,   berbeda   dengan   orang-orang belakangan ini.   Pasti   tidak   ada   yang   mengatakan   atau   meyakini   yang   demikian   kecuali   orang Zindiq yang keluar dari dien Allah subhanahu wa ta’ala.  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam     bersabda:   

“Tidaklah    Allah   membangkitkan      suatu   nabi   kecuali   sungguh mesti baginya untuk menunjukkan       umatnya      tentang   kebaikan     apa    yang    beliau   ketahui    kepada mereka.”  (H.S.R.   Muslim).
Dan   Nabi   kita    shallallahu  ‘alaihi  wasallam      adalah  seutama-utama  dan  sesempurna-sempurna serta penutup para nabi, jika perayaan Maulid Nabi merupakan        bagian   dari   dien   niscaya   Rasulullah     shallallahu    ‘alaihi  wasallam    akan menjelaskannya         kepada     umat    atau    melakukannya        semasa     hidupnya     atau    para shahabat      radliyallahu     'anhu   akan      melakukannya.        Tidak    ada   seorangpun       yang mengatakan        bahwa     Rasulullah     shallallahu     ‘alaihi  wasallam    tidak     melakukannya karena     kerendahan      hati   beliau,   ini  menghujat      beliau   shallallahu    ‘alaihi  wasallam karena konsekuensinya bahwa beliau telah mengurangi dan menyembunyikan sesuatu     dari   kebaikan,   hal   ini   mustahil   terjadi   pada   diri   beliau,   juga   berarti   menghujat   para shahabat     radliyallahu     'anhum    yang    telah   Allah   subhanahu      wa   ta’ala puji,   karena konsekuensinya       bahwa     mereka     mengurangi      suatu    amalan      yang   penuh     berkah, berbeda dengan orang sekarang yang lebih pintar dari mereka.

Hudzaifah ibnul Yaman radliyallahu     'anhu   berkata:    “Setiap    ibadah   yang    belum   pernah    dilakukan    oleh   para shahabat      Rasulullah     shallallahu   ‘alaihi   wasallam    maka      janganlah    kalian   kerjakan, sesungguhnya         generasi     awal     tidak    meninggalkan       bagi    generasi     yang     akhir perkataanpun,      maka    bertakwalah    kepada    Allah   wahai   para   qori’   dan   ambillah   jalan orang-orang sebelum kamu.”

5.      Memeriahkan   malam   maulid   bukan   merupakan   bukti   kecintaan   kepada   Rasulullah shallallahu   ‘alaihi   wasallam,  berapa   banyak   yang   engkau   lihat   dan   dengar   tentang orang  yang  memeriahkan  malam  perayaan  tersebut,  mereka  adalah  sejauh-jauh orang dari    petunjuk    Nabi    shallallahu    ‘alaihi  wasallam,    kebanyakan       dari   mereka     adalah orang-orang      fasiq  dan    sering   berbuat    dosa   seperti  bermuamalah        dengan    riba, mengentengkan   sholat,   menyia-nyiakan   sunnah-sunnah yang zhahir dan yang batin dan    segala   perbuatan    keji  dan   yang   membinasakan.      Bukti   kecintaan    yang   benar kepada sayyidina, habibina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam  adalah sebagaimana yang diinginkan     Allah   subhanahu      wa   ta’ala sebagaimana      firman-Nya:  
“Katakanlah,    jika kamu      (benar-benar)   mencintai    Allah,   ikutilah   aku    (Rasulullah   shallallahu    ‘alaihi wasallam),   niscaya   Allah  mengasihi    dan   mengampuni     dosa-dosamu    …”  (Q.S.   Ali  Imran 31).

Rasulullah     shallallahu   ‘alaihi  wasallam   juga   telah  bersabda:
“Semua    umatku    masuk jannah     (surga)  kecuali   yang    enggan”   Mereka     (para  shahabat     radliyallahu   'anhum) berkata: “Siapa  wahai    rasulullah  orang yang    enggan?”   Beliau   shallallahu   ‘alaihi  wasallam menjawab: “siapa    yang    taat  kepadaku    maka     ia  masuk    jannah   (surga)   dan siapa   yang   bermaksiat   kepadaku   maka   dia   telah   enggan.”  (H.S.R. Bukhari).

Maka kecintaan     yang   benar   kepada    beliau  shallallahu    ‘alaihi  wasallam    adalah   dengan mengikutinya   dan   berpegang   teguh   dengan  petunjuknya  baik  secara  zhahir  maupun batin, dan berjalan di atas jalannya dan mencontoh beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dalam   penampilan,   perkataan,   dan   perbuatannya,   dalam   ciri-cirinya dan akhlaknya, sebagaimana telah dikatakan: “Apabila cintamu  benar niscaya engkau taat kepadanya. Sesungguhnya orang yang cinta taat kepada yang dicintai.”

6.      Selain itu kebanyakan dari ulama masa sekarang menyebutkan kerusakan-kerusakan yang   besar   dan   kemungkaran-kemungkaran   yang   terjadi   pada   perayaan   Maulid   Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam  dan perayaan lainnya, bahkan orang-orang yang ikut serta di   dalamnya   dan   menghadirinya   kemudian   Allah  subhanahu   wa   ta’ala beri petunjuk dia   sehingga    menjauhi     dan    meninggalkannya       mengakui     akan    segi  negatif   dari perayaan-perayaan   bid’ah  ini.  Diantaranya  adalah  ucapan-ucapan syirik dan berlebih- lebihan   dalam   memuji   Rasulullah   shallallahu   ‘alaihi   wasallam    dalam   bentuk   syair-syair   meminta    pertolongan    dan   bantuan    dari  beliau,   dan  keyakinan     bahwa    mengetahui   hal   yang   ghaib,   sebagaimana   terdapat   dalam   qasidah   Al-Bushairi  dijadikan dasar dari malam-malam itu: “Wahai semulia-mulia makhluk, tidak ada dapat    saya   mintai   pertolongannya      kecuali   engkau    pada   saat   menghadapi     segala musibah.  Sesungguhnya  kedermawananmu  meliputi  dunia  dan seisinya. Dan ilmumu meliputi ilmu Lauh (Mahfuzh) dan Al-Qalam.”
Kemungkaran         yang    lainnya    adalah     campur     baurnya      laki-laki   dan    wanita, menggunakan musik, minuman keras, memandang (wanita yang bukan mahram dan) anak muda yang belum tumbuh jenggot, mengkultuskan para wali, dan masih banyak kemungkaran   lainnya   tidak   terhitung   dan   sukar   untuk   dibatasi   dikarenakan   adanya perbedaan   antara   negeri   yang   satu   dengan   negeri   yang   lain,   bahkan   sebagian   mereka lebih mengutamakan malam itu dari malam Lailatul Qadar, sehingga mereka giat serta bersungguh-sungguh beramal pada malam tersebut tidak seperti amalan dia pada malam Lailatul Qadar, juga sebagian diantara mereka yang mengkafirkan orang-orang yang tidak ikut perayaan Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

7.      Hari   dimana     Rasulullah    shallallahu    ‘alaihi  wasallam  dilahirkan     pada   hari  itu  juga beliau shallallahu ‘alaihi wasallam  wafat yaitu hari yang ke dua belas dari bulan Rabiul  Awwal   sebagaimana   terdapat   dalam   kitab-kitab sirah, bukankah sedih pada waktu itu lebih utama dari bergembira, maka secara akal mestinya menjadikan hari itu sebagai hari   berkabung   lebih   pantas   daripada   sebagai   hari   raya   (nyatanya   dalam   dien   tidak ada hari berkabung, karena memang dien bukan dengan akal).

Para ulama -baik yang membolehkan perayaan maulid atau tidak- telah sepakat bahwa perayan maulid tidak pernah dilaksanakan oleh salafus sholeh (Orang-orang sholih terdahulu), dan diantara pernyataan mereka :

1.      Syaikhul Islam Ibnu Taymiyyah dalam kitabnya Iqtidhous Sirotil Mustaqim Mukholafata Ashabil Jahim‌ Hal: 295 tentang Maulid Nabawy: Tidak pernah dilakukan oleh as salafus sholeh padahal dorongan untuk diadakannya perayaan ini sudah ada, dan tidak ada penghalangnya, sehingga seandainya perayaan ini sebuah kebaikan yang murni atau lebih besar, niscaya as salaf (ulama’ terdahulu) -semoga Allah meridhoi mereka- akan lebih giat dalam melaksanakannya daripada kita, sebab mereka lebih dari kita dalam mencintai Rosulullah dan mengagungkannya, dan mereka lebih bersemangat dalam mendapatkan kebaikan. Dan sesungguhnya kesempurnaan rasa cinta dan pengagungan kepada beliau terletak pada sikap mengikuti dan mentaati perintahnya, dan menghidupkan sunnah-sunnahnya, baik yang lahir ataupun batin, serta menyebarkan ajarannya, dan berjuang dalam merealisasikan hal itu dengan hati, tangan dan lisan. Sungguh inilah jalannya para ulama’ terdahulu dari kalangan kaum muhajirin dan anshor yang selalu mengikuti mereka dalam kebaikan‌. Dan silahkan baca pernyataan beliau dalam kitab Al Fatawa Al Misriyah‌ 1/312.

2.      Pernyataan Al-Allamah Al-Imam As Syaikh Tajuddin Umar bin Ali Al Lakhmy Al Iskandary, yang lebih dikenal dengan Al Fakihaany dalam kitabnya Al Maurid Fi Al Kalaam Ala Amali Al Maulid‌

3.      Beberapa ulama’ berpegangan dengan pernyataan Al fakihany dalam bukunya ini, diantaranya :

a-   Al Maliky dalam hasiyahnya terhadap kitab Mukhtashor As Syaikh Kholil Al-Maliky‌ 7/168, dalam pembahasan Al Washiyah, beliau menyatakan: Adapun berwasiat untuk perayaan al maulid as syariif, maka Al fakihany telah menyebutkan bahwa perayaan maulid adalah makruh hukumnya‌.

b-   Dan diantara mereka Abu Abdillah Muhammad Ulaisy dalam kitabnya Fathu Al Aly Al Malik Fi Al Fatawa Ala Mazhab Al Imam Malik‌ 1/171 ketika ditanya tentang seorang lelaki yang memiliki seekor sapi yang sedang sakit, padahal dia sedang mengandung, lalu orang itu berkata  Kalau Allah menyembuhkan sapiku, maka wajib atasku untuk menyembelih anak yang di dalam perutnya ketika acara maulid Rosulullah, dan kemudian Allah menyembuhkan sapinya dan melahirkan anak betina, kemudian dia menunda penyembelihan sampai anak sapi tersebut besar dan hamil, apakah wajib atasnya untuk menyembelih sapi tersebut atau boleh menyembelih penggantinya atau dia tidak berkewajiban apa-apa ? Maka beliau menjawab pertanyaan ini dengan mengatakan: Alhamdulillah, dan sholawat dan salam semoga terlimpahkan kepada sayidina Muhammad Rosulillah, dia tidak berkewajiban apa-apa, karena perayaan maulid Rosulillah tidaklah disunnahkan‌.

4.      Ungkapkan pengarang kitab Al Mi’yar Al Maqhrib‌ dalam nukilannya terhadap jawaban salah seorang ulama Maqhrib Ustaz abu ‘abdillah al hiar‌ terhadap sebuah pertanyaan yang ditujukan kepadanya tentang seseorang yang mewakafkan sebatang pohon untuk malam maulid, kemudian orang tersebut meninggal, lalu anaknya ingin mengambil pohon tersebut?, berdasarkan apa yang telah ditetapkannya bahwa melakukan maulid pada malam tersebut adalah Bid’ah, mewakafkanan pohon tersebut adalah satu sebab masih berlangsungnya perbuatan tersebut, yang tidak ada anjuran dalam agama untuk melakukannya, sedangkan menghapus dan mencegahnya adalah di tuntut dalam agama, kemudian ia menambahkan lagi, bahwa malam maulid di zamannya dilakukan dengan tatacara kaum fakir(), sebagai mana dalam ungkapan beliau: cara-cara mereka pada saat ini telah mencemari agama, karena kebiasaan mereka dalam perkumpulan tersebut hanya menyanyi dan bersorak-sorai, mereka telah mempengaruhi orang-oramg awam kaum muslimin bahwa hal yang demikian adalah ibadah yang sangat agung untuk dilakukan pada waktu tersebut, dan merupakan jalan para wali Allah, sedangkan kenyataan mereka adalah kaum yang bodoh, yang mana diantara mereka banyak yang tidak mengetahui hukum-hukum yang diwajibkan kepadanya dalam sehari-hari, sebenarnya mereka adalah para pesuruh setan untuk menyesatkan orang awam kaum muslimin, dengan menghiasi kebatilan kepada mereka, mereka telah memasukan kedalam agama Allah sesuatu yang tidak termasuk kedalamnya, karena bernyanyi dan bersorak-sorai adalah termasuk dalam senda-gurau dan main-main, mereka menganggap hal yang demikian adalah perbuatan para wali Allah, ini adalah suatu kebohongan dibuat di atas nama mereka, sebagai salah satu jalan bagi mereka untuk memakan harta manusia dengan cara haram, karena itu kebiasaan mereka adalah menyendiri supaya mereka bebas melakukan hal-hal yang dilarang, maka apa yang diwakafkan untuk hal tersebut hukumnya batil karena tidak menurut cara yang benar (disyari’atkan oleh agama), maka dianjurkan bagi orang yang berwakaf tadi untuk mengalihkan wakafnya kepada hal lain yang dianjurkan dalam syari’at, kalau seandainya ia tidak mampu maka hendaklah ia ambil untuk dirinya sendiri, semoga Allah menuntun kita selalu untuk mengikut sunnah nabiNya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dan mengikuti para salafus sholih karena keselamatan terdapat dalam langkah mereka‌.

5.      Ungkapan Syaikh Abdul Latif bin Abdur Rahman bin Hasan cucu dari Syaikh Islam Muhammad bin Abdul Wahab dalam keterangannya tentang apa yang dilakukan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dalam berda’wah kepada kebenaran, inilah ungkapan beliau tersebut: sang imam Muhammad bin Abdul Wahab melarang kebiasaan orang-orang di negri tersebut dan daerah lainnya dari membesarkan hari maulid dan hari-hari besar jahiliyah lainnya, yang tidak ada dalil yang memerintahkan untuk membesarkannya, dan tidak pula ada keterangan dan hujah syar’iyah, karena hal yang demikian adalah menyerupai umat nasroni (kristen) yang sesat dalam hari besar mereka baik secara waktu maupun tempat, ini adalah kebatilan yang ditolak dalam syari’at penghulu segala rasul (agama Islam), di kutip dari kumpulan risalah dan masalah para ulama nejed‌ hal: (4 / 440).

6.      Jawaban Syaikh Abdur Rahman bin Hasan terhadap sebuah pertanyaan yang dikemukakan kepada beliau tentang mengkhususkan hari maulid dengan berkorban, yang mereka sebut nafilah‌, dan apa yang dilakuakn pada tanggal 27 rajab mengkhususkannya dengan berpuasa dan berkoban pada hari tersebut, kemudian amalan malam nisfu sya’ban seperti itu juga, apakah hal tersebut haram dilakukan atau makruh atau mubah (boleh)?, apakah wajib bagi pemerintah dan ulama untuk mencegahnya?, apakah mereka berdosa bila diam terhadap hal tersebut?, beliau menjawab: semua hal tersebut adalah Bid’ah, sebagaimana yang terdapat dalam sabda Nabi, bahwa beliau berkata:

     "Siapa yang menambah-nambah dalam urusan kami ini (agama ini), sesuatu yang tidak termasuk kedalamnya, maka hal tersebut adalah ditolak‌".

Dan dalam sabda beliau yang lain disebutkan:
Hati-hatilah kalian terhadap sesuatu hal yang baru dalam agama ini, sesungguhnya segala hal yang baru dalam agama adalah Bid’ah, dan setiap Bid’ah itu adalah sesat‌.

Dan segala ibadah harus berdasarkan pada perintah atau larangan serta mengikuti sunnah, sedangkan perkara yang di singgung di atas (pelaksanaan maulid), tidak pernah disuruh oleh rasulullah Shollallahu 'alaihi wa sallam, dan tidak pernah dilakukan oleh khalifah ar-rosyidin, sahabat dan para tabi’in, telah disebutkan dalam hadist yang shohih:

Siapa yang melakukan suatu amalan (ibadah) yang tidak ada contoh dari kami maka amalan tersebut ditolak‌.
Sedangkan segala macam bentuk ibadah yang disinggung diatas tidak ada contoh dari rasulullah Shollallahu 'alaihi wa sallam, makanya ditolak dan wajib diingkari, karena ia termasuk dalam hal yang dilarang Allah dan rasulNya.

Sebagaiman firman Allah Subahanhu wa Ta'ala:
Apakah mereka itu memiliki tandingan-tandingan yang membuat syari’at agama bagi mereka yang tidak pernah diizinkan Allah‌ [Asy syuura: 12]. Sedangkan segala macam ibadah yang disebut di atas adalah bikinan orang-orang bodoh tampa petunjuk dari Allah, hanya Allah Subhanahu wa ta'ala yang lebih mengetahui‌. (Dinukil dari kumpulan risalah dan masalah para ulama nejed bagian II. Hal: [ 4 / 357-358].

7.      Jawaban Syaikh Muhammad bin Abdul Latif ketika beliau di tanya tentang hukum mengeluarkan harta untuk acara maulid nabi. Beliau menjawab perbuatan maulid adalah perbuatan bid’ah, mungkar dan jelek, mengeluarkan harta untuk perbuatan tersebut adalah bid’ah yang diharamkan, dan orang yang melakukannya adalah berdosa, maka wajib dicegah orang yang melakukannya. (dinukil dari ad-durar as-sunniyah‌ Hal: ( 7 / 285 ).

8.      Jawaban Imam Asy Syatiby ketika ditanya tentang hal ini. Beliau menjawab adapun yang pertama yaitu mewasiatkan sepertiga harta untuk pelaksanaan maulid sebagaimana yang banyak dilakukan manusia ini adalah bid’ah yang diada-adakan, setiap bid’ah itu adalah sesat, bersepakat untuk melakukan bid’ah tidak boleh, dan wasiatnya tidak dilakukan, bahkan diwajibkan kepada qodhi untuk membatalkannya dan mengembalikan sepertiga harta tersebut kepada ahli waris supaya mereka bagi sesama mereka, semoga Allah menjauhkan para kaum fakir dari menuntut supaya dilaksanakannya wasiat seperti ini. (dikutip dari fatwa Asy syatiby, no: ( 203, 204 ).

9.      Ungkapkan Syaikh Muhammad Abdussalam khadhar al qusyairy dalam kitabnya as sunan wal mubtadi’aat al muta’alliqah bil azkar wash sholawaat‌ Hal: 138-139. Dalam fasal: membicarakan bulan Robi’ul awal dan bid’ah melakukan maulid pada waktu itu. tidak boleh mengkhususkan bulan ini (Rabi’ul awal) dengan berbagai macam ibadah seperti sholat, zikir, sedekah, dll. Karena musim ini tidak termasuk hari besar Islam seperti hari jum’at dan hari lebaran yang telah ditetapkan oleh Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa sallam, bulan ini memang bulan kelahiran Nabi Muhammad Shollallahu 'alaihi wa sallam, tapi juga merupakan bulan wafatnya nabi Muhammad Shollallahu 'alaihi wa sallam, kenapa mereka berbahagia atas kelahirannya tapi tidak bersedih atas kematiannya?, menjadikan hari kelahirannya sebagai perayaan maulid adalah bid’ah yang mungkar dan sesat, tidak diterima oleh syara’ dan akal, kalau sekiranya ada kebaikan dalam melakukannya tentu tidak akan lalai dari melakukannya Abu bakar, Umar, Ustman dan Ali serta para sahabat yang lainnya, dan para tabi’iin serta para ulama yang hidup setelah mereka, maka tidak ragu lagi yang pertama melakukannya adalah kelompok sufisme yang tidak punya kesibukan yang senang melakukan bid’ah kemudian diikuti oleh manusia-manusia lainnya, kecuali orang yang diselamatkan Allah serta di beri taufiq untuk memahami haqiqat agama Islam.

10. Perkataan Ibnul Hajj dalam kitab Al Madkhal‌ Hal: ( 2 /11, 12 ) setelah ia menyinggung kebiasaan-kebiasaan jelek yang dilakukan oleh orang-orang dizamanya dalam melaksanakan maulid, dan berbagai kebinasaan yang ditimbulkan akibat pelaksanaan tersebut, sekalipun tidak terdapat dalam pelaksanaan maulid tersebut nyanyi-nyanyian, cukup sekedar acara makan bersama saja dengan maksud melaksanaka maulid, bersamaan dengan itu mengajak teman-teman, maka hal tersebut tetap merupakan bid’ah walaupun hanya sebatas niat saja, karena hal tersebut adalah menambah-nambah dalam urusan agama yang tidak pernah dilakukan oleh para ulama salaf yang silam, mengikuti salaf adalah lebih utama dan wajib dari pada menambah niat yang melanggar terhadap apa yang mereka lakukan, mereka adalah manusia yang sangat bersungguh-sungguh dalam mengikuti sunnah Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa sallam, dan lebih cinta kepadanya dan kepada sunnahnya, kalau hal tersebut benar tentulah mereka orang yang pertama sekali melakukannya, tetapi tidak seorang pun dari mereka yang melakukannya, kita hanya mengikuti mereka, kita telah mengetahui bahwa mengikuti mereka dalam segala sumber dan keputusan.

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Abu Tholib Al Makky dalam sebuah karangannya sungguh telah disebutkan dalam hadist:

Tidak akan terjadi hari qiamat sampai yang ma’ruf di anggap mungkar dan yang mungkar dianggap ma’ruf‌.
Telah terjadi apa yang diberitakan oleh Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa sallam sebagaimana yang telah kita sebutkan di muka, dan yang akan kita bicarakan pada berikut ini: mereka berkeyakinan apa yang mereka lakukan tersebut adalah ketaatan, siapa yang tidak melakukan apa yang mereka lakukan berarti telah lalai dari ketaatan dan kikir, sungguh ini musibah yang telah menimpa.

Ibnul Hajj menambahkan lagi sebagian penyair telah menceritakan keadaan zaman kita ini dalam syair mereka:
Telah pergi orang-orang yang dicontoh perbuatan mereka, Orang-orang yang mencegah bagi segala perbuatan yang mungkar, Tinggal aku bersama orang-orang yang dibelakangan Yang saling memuji sesama mereka, agar tertutup kejelekan masing-masing, Anak ku! sebagian orang telah menyerupai binatang, Sekalipun kau lihat ia berpostur manusia mendengar dan melihat, Sangat hati-hati terhadap segala yang akan menimpa hartanya, Tapi bila agamanya yang dapat musibah, ia tidak merasa, Belajarlah kepada orang alim semoga engkau seperti dia, Orang yang luas keilmuan dan pandangannya.

Bahkan Ibnul Hajj menyebutkan dalam bukunya tersebut, Hal: 25. berbagai macam ketimpangan yang terdapat dalam maulid tersebut, sehingga sebagian mereka meninggalkan maulid karena melihat berbagai macam pelanggaran yang terdapat di dalamnya, dan melaksanakan maulid dengan membaca shohih bukhary sebagai ganti darinya, tidak diingkari bahwa membaca hadist merupakan ibadah dan memiliki keberkatan, tetapi harus dilakukan dalam bentuk yang digambarkan syara’ (agama)‌.

11. Perkataan Ibnul Qoyyim dalam kitabnya I’lamu Al Muwaaqi’in‌ Hal: ( 2 / 390-391 ).
jika ada yang bertanya, dari mana kalian mengetahui bahwa Rasulullah tidak melakukannya, tidak ditemukannya dalil tidak mesti perbuatan tersebut tidak ada.

Pertanyaan seperti ini menunjukkan bahwa orang tersebut tidak mengetahui petunjuk dan sunnah Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa sallam serta apa yang beliau sampaikan, kalau pertanyaan ini benar dan dapat diterima, tentu akan ada yang berpendapat dianjurkannya azan untuk sholat tarawih, dengan alasan yang sama, dan datang lagi yang lain menganjurkan mandi setiap sholat, dengan alasan yang sama juga, dan seterusnya maka terbuka lebarlah pintu bid’ah, setiap orang yang melakukan bid’ah akan berkata: dimana anda mengetahui bahwa hal ini tidak dilakukan Rasulullah.

12. Jawaban Al Hafizh Abu Zur’ah Al ‘Iroqy ketika ditanya tentang orang yang melakukan maulid apakah dianjurkan atau makruh?, apakah ada dalil yang memerintahkannya?, atau pernahkah dilakukan oleh orang yang dicontoh perbuatannya?.

Ia menjawab: memberi makan orang yang lapar dianjurkan dalam setiap waktu, apa lagi bergembira atas munculnya cahaya kenabian pada bulan yang mulia ini, tapi tidak kita temukan seorang pun dari generasi salaf (para ulama yang terdahulu) yang melakukan hal demikian, sekali pun sekedar memberi makan orang yang kelaparan‌. Lihat tasyniiful Azan‌ hal: 136.

13. Fatwa Abu Fadhal Ibnu Hajar Al ‘Asqolany tentang hukum maulid yang dinukil oleh As suyuthy dalam kitabnya Husnul maqsad fi ‘amalil maulid‌ di situ Ia katakan: asal perbuatan maulid adalah bid’ah tidak seorang pun dari generasi salafus sholeh yang melakukannya dalam tiga abad pertama‌. Lihat Al hawy lil fatawa‌ hal: (1 / 196).

14. Fatwa Syaikh Zhohiruddin Ja’far Al Tizmanty tentang hukum maulid: melakukan maulid tidak pernah dilakukan oleh generasi Islam pertama dari salafus sholih, sedangkan mereka adalah orang yang jauh lebih menghormati dan mencintai nabi Shollallahu 'alaihi wa sallam, yang mana kecintaan dan penghormatan salah seorang diantara mereka terhadap nabi Shollallahu 'alaihi wa sallam, tidak terjangkau oleh kita sekarang ini, walau hanya secuil‌. Ungkapan ini dinukilkan dari Ibnu At Thobaakh dan Al Tizmanty oleh pengarang kitab Subulul huda war rosyad Fi sirah khairil ‘ibad‌ hal: (1 / 441-442).

15. Di antara dalil bahwa salafus sholeh tidak pernah merayakan hari maulid nabi Shollallahu 'alaihi wa sallam.
Yaitu perbedaan pendapat yang timbul dikalangan mereka dalam menentukan hari lahirnya nabi Shollallahu 'alaihi wa sallam. Sebagaimana telah disinggung oleh Abu abdillah al hifaar dalam pembicaraannya, yang dinukil oleh pengarang kitab Al Mi’yaar‌ hal: (7/ 100). Yang berbunyi Dalil yang menunjukkan bahwa orang-orang salaf (generasi Islam yang pertama) tidak pernah membedakan antara malam maulid dengan malam-malam yang lainnya yaitu perbedaan mereka dalam menentukan malam tersebut, sebagian berpendapat pada bulan Ramadhan dan sebagian yang lain berpendapat pada bulan Rabi’ul awal, kemudian mereka berbeda pendapat lagi tentang tanggalnya dalam empat pendapat, kalau seandainya mereka melakukan ibadah tertentu pada hari lahirnya nabi Muhammad Shollallahu 'alaihi wa sallam, tentu hari tersebut diketahui secara masyhur dan tidak akan terjadi perbedaan pendapat tentang hari tersebut‌.

16. Ditambah lagi di balik itu semua bahwa hari kelahiran nabi Muhammad Shollallahu 'alaihi wa sallam adalah bertepatan dengan hari kematiaanya, tidak lah bergembira lebih utama dari bersedih pada hari itu, sebagaimana yang diungkapkan oleh sebahagian ulama diantara mereka Ibnul Hajj dan Al Fakihaany.

Telah disebutkan oleh Ibnul Hajj dalam kitab Al Madkhal‌ hal: (2/ 15,16) ketika ia berbicara tentang maulid: yang sangat mengherankan kenapa mereka bergembira ria untuk kelahiran nabi Shollallahu 'alaihi wa sallam! sedangkan kematiannya bertepatan pada hari itu juga, dimana umat mendapat musibah yang amat besar, yang tidak bisa dibandingkan dengan musibah yang lainnya, yang layak hanya menangis, bersedih dan setiap orang menyendiri dengan dirinya, karena Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa sallam bersabda: hendaklah kaum muslimn itu teguh dalam segala musibah mereka, musibah yang sebenarnya adalah kematian ku‌.

Ketika Rasulullah menyebutkan bahwa musibah yang sebenarnya adalah kematian beliau, menjadi hilang segala musibah yang menimpa seseorang dalam kondisi apa pun, tanpa meninggalkan kesedihan.
Sangat indah kata-kata sajak yang dituturkan oleh Hassaan dalam kematian Rasulullah:

Hitam kelam pandanganku
Hitam atas kepergianmu
Ku relakan kematian selainmu
Kecemasanku hanya atas kepergianmu‌.

Kalau kita perhatikan apa yang dilakukan oleh kebanyakan orang pada bulan tersebut (Rab’iul awal) jusru mereka bergebira-ria dan berjoget-joget, bukannya menangis dan bersedih kalau ini yang mereka lakukan akan lebih tepat dengan suasananya, supaya terhapus dosa-dosa mereka, karena bersedih dan menangis atas kepergian nabi Muhammad Shollallahu 'alaihi wa sallam, akan menghilangkan dosa-dosa dan menghapus bekas-bekasnya. Sedangkan kalau seandainya mereka lakukan ini secara rutinitas juga merupakan bid’ah, sekalipun bersedih atas kepergian nabi Shollallahu 'alaihi wa sallam wajib bagi setiap muslim, tetapi bukanlah dengan cara berkumpul untuk melakukan hal yang demikian, sekalipun meneteskan air mata itu lebih baik, tapi kalau tidak mungkin cukup dengan bersedih hati saja, yang melatar belakangi pendapat ini adalah karena mereka melakukan kegembiraan yang membuat jiwa mereka terlena dengan bersenda-gurau, jogetan, gendrang dan seruling, berbeda dengan menangis dan bersedih yang bisa membuat jiwa mereka tersendu dan menahan diri dari berbagai macam syahwat dan kesenangannya.

Jika ada yang berpendapat : Saya melakukan maulid karena merasa bahagia dan gembira atas kelahiran nabi Muhammmad Shollallahu 'alaihi wa sallam, kemudian pada hari yang lain saya khususkan untuk upacara kesedihan atas kematiannya.
Jawabannya adalah: telah kita sebutkan di atas seseorang yang mengadakan jamuan makan saja dengan niat maulid dan mengajak teman-temannya, maka hal ini dianggap bid’ah, yaitu suatu pebuatan yang secara lahirnya kebaikan dan ketakwaan, maka bagaimana lagi dengan orang yang mengumpulkan berbagai macam bid’ah dalam sekaligus, terlebih lagi yang melakukannya dua kali, sekali untuk bergembira dan kali yang lain untuk bersedih?. Maka semakin bertambah dengannya bid’ah, dan semakin banyak ia mendapat celaan dalam agama. Wallahu a’lam‌.
Berkata Al Faakihaany dalam kitabnya Al Maurid fi ‘Amalil Maulid‌: Sesungguhnya bulan kelahiran nabi Muhammad Shollallahu 'alaihi wa sallam, bertepatan dengan bulan kematiannya, maka tidak lah bergembira lebih utama dari pada bersedih pada bulan tersebut‌.

Dengan kutipan ini menjadi jelas bagi kita bahwa salafus sholeh tidak pernah melakuakan maulid nabi, tetapi mereka meninggalkannya, tidak mungkin mereka meninggalkannya kecuali karena hal tersebut tidak ada nilai kebaikan di dalamnya.

Karena itu dinilai suatu perbuatan terpuji yang dimiliki oleh para raja dan penguasa yang telah berusaha melarang bid’ah tersebut, dan memberikan hukuman bagi orang yang melakukannya. Sebagaimana dalam kitab tarikh Al Islam‌, hal: (4 / 181). Al Afdhal -semoga Allah merahmatinya- memiliki berbagai amal kebaikan dalam memperbaiki keadaan kaum muslimin diantaranya ia telah menghapus upacara maulid nabi Shollallahu 'alaihi wa sallam, upacara maulid fathimah, upacara maulid Ali, dan upacara maulid khalifah Al qoim biamrillah‌.

Sebagaimana yang disebutkan oleh pengarang -asy syaukany- dalam kitab ini hal: (50).
Ketika ia memuji khalifah Al mahdy lidinillah bin ‘Abbas Al Mashur, dan menganjurkan khalifah sesudahnya supaya melarang pelaksanaan upacara maulid.

Siapa yang dijadikan Allah sebagai pemimpin terhadap suatu negri, hendaklah jangan sampai melaksanakan bid’ah yang telah dihapus Allah, terutama di jazirah arab, yang telah bangkit para penegak kebenaran yang diberi taufik oleh Allah Subhanahu wa ta'ala- untuk memberantas berbagai bentuk kesyirikan dan bid’ah yang tersebar di sana yang telah berlangsung lebih dari dua abad setengah.

Bilamana pemberantasan bid’ah dinilai sebagai kebaikan yang dimiliki oleh para raja, sebaliknya membiarkan bid’ah tersebar dan diam terhadap orang yang melakukannya dinilai sebagai kejelekkan yang dimiliki penguasa.

Orang-orang  yang   merayakan   maulid   mempunyai   alasan-alasan   dan   dalil-dalil, yang paling menonjol adalah:

1.      Firman     Allah   subhanahu      wa   ta’ala:
“Katakanlah,     dengan   karunia   Allah   dan   rahmat- Nya,    hendaklah     dengan    itu  mereka    bergembira.    Karunia    Allah  dan    rahmat-Nya     itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.”(Q.S. Yunus 58).

Allah subhanahu wa ta’ala  memerintahkan kita untuk bergembira dengan rahmat, dan Nabi     shallallahu    ‘alaihi   wasallam     adalah     sebesar-besar      rahmat,    karena    

Allah subhanahu       wa  ta’ala  telah   berfirman:
“Dan   tiadalah   Kami   mengutus   kamu,   melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”
(Q.S. Al-Anbiyaa’ 107)

Jawabannya:

Pengambilan dalil dengan ayat ini yang mereka kemukakan tidak pada tempatnya, dan penggunaan ayat yang tidak pada maksudnya, dan mereka menetapkan apa yang tidak ditetapkan     oleh   Rasulullah     shallallahu    ‘alaihi  wasallam,   orang     yang   paling   tahu tentang   Al-Qur’an   dan   yang   paling   paham   tentang   sesuatu   yang   dikehendaki   Allah subhanahu       wa   ta’ala dari   nash-nash     Al-Qur’an,    pemahaman       mereka     menyimpang dari kaidah-kaidah      syariah    yang   dipahami    oleh   As-Salaf   Ash-Shalih   dan   seutama-utama generasi   dalam   memahami   arti   dan   pengambilan   istinbat   dari   Al-Qur’an, dan Ibnu Qayyim      Al-Jauziyyah     rahimahullah      menyebutkan       perkataan     ulama    salaf   tentang makna   dari   ayat   ini   bahwa   fadhlullah   (karunia   Allah)   adalah   Al-Qur’an sedangkan rahmat-Nya yang dimaksud adalah As-Sunnah.

2.      Terdapat   dalam   Shahih   Bukhari   dan   Shahih   Muslim   bahwa   Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam  ketika   sampai   di   Madinah   beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mendapatkan orang-orang      Yahudi    melakukan      puasa    Asy-Syura,     maka    beliau   shallallahu    ‘alaihi wasallam  bertanya   kepada   mereka,   mereka   menjawab:   “Dia   itu   hari   di   mana   Allah menenggelamkan   Fir’aun   dan   menyelamatkan   Musa   maka   kami   puasa   sebagai   rasa syukur   kepada   Allah  subhanahu  wa  ta’ala,      

maka   beliau   Shallallahu  ‘alaihi  wasallam bersabda:

“Saya  lebih  berhak  dari  kalian  terhadap  Musa“.  Maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa  padanya  (pada  hari  Asy-Syura yaitu hari yang ke sepuluh di bulan   Muharram) dan memerintahkan untuk puasa padanya. Mereka berkata nikmat yang   mana   lebih   besar   dari   nikmat   keluarnya   Nabi   rahmah   ke   dunia   ini   pada   hari         tersebut, dan dengan demikian sebagai rasa syukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala         atas nikmat ini kita harus merayakannya.

Jawabannya:

Pengambilan dalil dengan hadits puasa hari Asy-Syura adalah pengambilan dalil yang batil   dan   qiyas   yang   rusak   dikarenakan   kita   bersyukur   kepada   Allah subhanahu wa ta’ala atas   nikmat    diutusnya   Nabi   ini  bukan   atas  kelahirannya,    saya tambah   lagi bahwa     puasa   hari  Asy-Syura    disyariatkan   dan   disukai   berdasarkan     sunnah    Nabi shallallahu    ‘alaihi  wasallam,  dan    beliau   tidak  mensyariatkan     kepada    kita  untuk merayakan hari kelahirannya.

3.      Apa   yang   dikeluarkan   oleh   Imam   Baihaqi   dari   Anas radhiallahu anhu  bahwa  Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam  meng-aqiqahi   dirinya   setelah   kenabian,   padahal   kakeknya   Abdul   Muthalib telah meng-aqiqahi beliau shallallahu ‘alaihi wasallam  pada hari ke tujuh setelah hari kelahirannya, maka dapat diambil kesimpulan pengulangan yang dilakukan oleh Nabi shallallahu   ‘alaihi   wasallam  adalah   sebagai   rasa   syukur   kepada   Allah subhanahu wa ta’ala atas  lahirnya  beliau shallallahu ‘alaihi wasallam     sebagai rahmat kepada seluruh alam    dan   perbuatan    beliau   shallallahu  ‘alaihi  wasallam  tersebut   sekaligus  sebagai syariat    kepada    umatnya     untuk    mencontoh     beliau   shallallahu    ‘alaihi  wasallam sesudahnya.

Jawabannya:

Imam   Malik   rahimahullah   menjadikan   hadits   ini   salah   satu   dari   hadits-hadits yang batil   sebagaimana     dinukil   oleh  Ibnu   Rusyd    dalam    bab   Aqiqah    dari  kitab   “Al-Muqaddimaat   Al-Mumahhadaat”,   dan   hadits   ini   telah   dilemahkan   oleh   para   ulama seperti Abdur Razaq dan Abu Daud dari Imam Ahmad dan Ibnu Hibban dan Al-Bazzar rahimahullah   dikarenakan   lemahnya   salah   seorang   rawi   yang   bernama   Abdullah   bin Al-Muhawwar, seumpama hadits ini shahih tetap tidak bisa dijadikan sebagai hujjah.

4.      Urwah   meriwayatkan   bahwa   ia   berkata   tentang   Tsuwaibah   bekas   budak   Abu   Lahab yang   dimerdekakan   olah   tuannya   karena   gembira   dengan   kelahiran   Nabi shallallahu  ‘alaihi wasallam kemudian  ia menyusui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,  bahwasanya beliau   bermimpi    setelah   matinya   Abu   Lahab    bahwa    ia  di  neraka,  ketika   ditanya tentang keadaannya beliau menjawab ia di neraka tetapi diringankan adzabnya setiap hari  Senin  karena  ia  telah  memerdekakan Tsuwaibah karena gembira akan kelahiran Nabi   Muhammad       shallallahu   ‘alaihi  wasallam.  Mereka   berkata:   “Sikapnya   terhadap Rasulullah     shallallahu   ‘alaihi  wasallam   dilakukan     oleh  Abu   Lahab    seorang   kafir penduduk      neraka,   maka    lebih  pantas   lagi  dilakukan    oleh seorang    muslim    yang bertauhid yang gembira akan kelahiran beliau shallallahu ‘alaihi wasallam  dan berbuat semaksimal mungkin sesuai dengan kesanggupannya.

Jawabannya:

Hadits     ini   mursal    (salah    satu   istilah   untuk     hadits   yang    lemah)     sebagaimana diriwayatkan      oleh   Bukhari     dan   disebutkan      oleh  Al-Hafizh    Ibnu    Hajar   Al-Asqalani dalam   kitab   Fathul   Bari,   begitu   pula   mimpi   dalam   tidur   tidak   bisa   dijadikan   hujjah dan ini bertentangan dengan Al-Qur’an yang menyebutkan dalam ayat-ayatnya bahwa amal shalih yang dilakukan          oleh   seorang   kafir   tidak   dapat   memberi   manfaat   di   hari akhirat.    Firman     Allah   subhanahu       wa   ta’ala:
“Dan    Kami    hadapi    segala   amal   yang mereka     kerjakan,   lalu  Kami    jadikan   amal itu   (bagaikan)   debu   yang    beterbangan.”    (Q.S. Al-Furqan 23)

5.      Mereka  berkata  bahwasanya perayaan maulid apabila tidak dikhususkan pada tanggal dua   belas   Rabiul   Awwal   atau   dilaksanakan   di   luar   bulan   Rabiul   Awwal   atau   tidak dikhususkan pada waktu-waktu tertentu maka boleh-boleh saja.

Jawabannya:

Ini   pengakuan   yang   batil   dan   ucapan   yang   tertolak   karena   ibadah   dan   syariat   itu adalah   tauqifiyyah   (harus   berdasarkan   nash   baik   dari   Al-Qur’an ataupun As-Sunnah), tidak boleh kita beribadah dengan tata cara tertentu yang tidak terdapat dalam syariat meskipun       dalam    bentuk     dzikrullah,   atau    membaca      sirah   Nabi   shallallahu    ‘alaihi wasallam,  kenyatannya juga membuktikan bahwa perayaan maulid banyak dilakukan pada bulan Rabiul Awwal.

6.      Sesungguhnya         maulid     itu   pertemuan      untuk     berdzikir,    shadaqah,      memuji     dan mengagungkan         Nabi   shallallahu    ‘alaihi  wasallam ,   dan   perkara-perkara   ini   dituntut oleh   syariat   dan   perbuatan   yang   terpuji,   banyak   keterangan-keterangan   yang   shahih menganjurkan hal-hal tersebut.

Jawabannya:

Benar,   banyak   hadits-hadits yang shahih menganjurkan untuk berdzikir kepada Allah subhanahu        wa     ta’ala, shadaqah,       dan     yang    lainnya.    Tetapi    tidak    ada    satu keteranganpun yang menganjurkan untuk berkumpul secara khusus, dengan bentuk dan waktu yang khusus pula, begitu pula dzikir-dzikir dan do’a-do’a yang biasa dibaca pada    malam     tersebut    tidak  ada   asalnya    dalam   syariat   dan   tidak   ada   dalilnya   dari wahyu, dan bait-bait syair yang dibacakan berisikan hal -hal yang berlebih-lebihan dan kebatilan di dalamnya.

7.      Terdapat      dalam    hadits   yang    diriwayatkan     oleh   Muslim     dalam    Shahih-nya      bahwa seorang laki-laki bertanya kepada  Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam  tentang puasa hari Senin,   maka   beliau   menjawab   kepadanya:  “Dia   itu   hari   di   mana   saya   lahir   dan   pada hari   itu   pula   wahyu   diturunkan   kepada   saya.”  Nabi  shallallahu  ‘alaihi  wasallam       telah mengagungkan hari Senin dikarenakan hari kelahirannya, kemudian mereka memilih hari    kelahirannya      yaitu    pada     tanggal    dua     belas    Rabiul    Awwal     dengan mengagungkannya dan merayakannya.

Jawabannya:

Yang diminta pada hari Senin setiap seminggu sekali adalah puasanya, tidak lebih dari itu, maka mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam  dengan berpuasa di hari Senin saja,   tidak  terikat  dengan   tanggal   tertentu,  sedangkan mereka    mengkhususkannya satu hari dalam setahun pada bulan Rabiul Awwal, ditambah lagi bahwa mereka tidak mengagungkan   wasiat   Nabi     shallallahu   ‘alaihi   wasallam  untuk   berpuasa   pada   setiap hari   Senin   yang   mempunyai      banyak   keutamaan,     tetapi  mereka    mengagungkannya dengan   makan   dan   minum   dan   menabuh   rebana,   ini   sekurang-kurangnya, padahal sebagaimana   telah   diketahui   olehmu   bahwa   ibadah   itu   adalah   tauqifiyyah   sehingga mengkhususkan        hari  tertentu  untuk    beribadah    dan   bertaqarrub   (mendekatkan      diri pada   Allah   subhanahu   wa   ta’ala)   secara   tertentu   pula   membutuhkan   kepada   dalil syar’i dan nyatanya tidak ada dalilnya atas perbuatan bid’ah tersebut. Dan jangan lupa pula   sebagaimana   telah   kami   sebutkan   bahwa   pada   tanggal   dua   belas   Rabiul   Awwal adalah   hari   wafatnya   Nabi   shallallahu   ‘alaihi   wasallam dan   terputusnya   wahyu   dari langit   ini   yang   masyhur   dari   ulama   Salaf.   Maka   katakanlah   kepadaku   demi   Rabbmu apakah     engkau    merayakan     wafatnya    Nabi   shallallahu    ‘alaihi  wasallam   atau   hari kelahirannya? Apakah mungkin menyatukan antara keduanya?

Penutup
Sesungguhnya   saya   yakin   bahwa   imanmu,   ketaqwaanmu,   ketaatanmu   kepada kekasihmu Muhammad         shallallahu   ‘alaihi  wasallam,   penguatanmu        terhadap syariatnya   atas   hawa nafsumu      dan   pendapatmu      serta  pendapat     manusia, saya   yakin   bahwa    hal  itu  semua mengatakan kepadamu :
"Janganlah  kamu merayakan Maulid"
Semoga   Allah  memberi   shalawat   dan   salam   kepada   Nabi   kita   dan   keluarganya   serta   para shahabatnya sekalian.

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan:
“…Dan perbuatan ini (perayaan maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, pent) tidak pernah dilakukan pada masa-masa terbaik umat ini, akan tetapi ini hanyalah perbuatan yang diada-adakan pada abad ke-6 Hijriyah dalam rangka mengikuti Nashara yang merayakan hari kelahiran Al-Masih 'alaihissalam Dan sungguh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melarang dari meniru-niru mereka.” (Al-Khuthab Al-Mimbariyyah, hal. 89)
Jika orang-orang terbaik dari umat ini tidak melakukannya, lalu apa yang menyebabkan seseorang melakukannya? Apakah dirinya merasa lebih tahu dan lebih tinggi ilmunya dari para shahabat? Ataukah dia menganggap para shahabat lebih tahu namun mereka tidak mau mengamalkan ilmunya? Sungguh betapa jelasnya kesesatan yang ia lakukan.

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah juga menyatakan:
“Dan termasuk mengikuti mereka (orang-orang kafir, pent) di dalam perayaan-perayaan baik yang bersifat syirik ataupun bid’ah adalah seperti memperingati perayaan-perayaan hari kelahiran, baik kelahiran Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dan kelahiran para pemimpin atau penguasa. Dan kadang-kadang perayaan-perayaan yang sifatnya syirik dan bid’ah ini diberi nama dengan penyebutan hari-hari atau pekan-pekan. Seperti hari kemerdekaan, hari ibu, atau pekan kebersihan.” (Al-Khuthab, hal. 43)

Menggunakan kalender Masehi (kalender orang kafir) dan meninggalkan kalender Islam (Hijriyyah)
Sebagian besar kaum muslimin saat ini hampir tidak lepas dari kalender Masehi. Bahkan sebagian mereka nampak tidak peduli dengan kalender Hijriyyah. Terbukti, ketika ditanya kepada sebagian saudara-saudara kita kaum muslimin tentang bulan hijriyyah, maka banyak di antara mereka yang tidak hafal atau tidak mengetahuinya. Padahal penggunaan kalender hijriyyah sangat penting, karena banyak berhubungan dengan amalan ibadah seperti puasa wajib dan sunnah, ibadah haji, dan lainnya.
Al-Lajnah Ad-Daimah dalam fatwanya berkenaan seputar tahun 2000 M menyebutkan:

“Kemuliaan bagi kaum muslimin adalah berpegangnya mereka dengan kalender hijrah Nabi mereka Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, di mana shahabat telah menyepakatinya. Mereka menggunakannya sebagai kalender tanpa ada perayaan (tahun baru, pent) dan kaum muslimin telah mewarisinya 14 abad setelah mereka sampai hari ini. Maka tidak boleh bagi seorang muslim untuk berpaling dari kalender Hijriyyah dan mengambil kalender lainnya yang digunakan manusia seperti kalender masehi. Hal itu berarti telah meminta ganti sesuatu yang lebih baik dengan sesuatu yang lebih buruk.”

Dan sesungguhnya beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melarang umatnya dari kebid’ahan:
“Dan hati-hatilah kalian terhadap perkara baru yang diada-adakan, karena sesungguhnya setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap kebid’ahan adalah sesat.” (Shahih, HR. Abu Dawud dan lainnya, dari Al-’Irbadh bin Sariyah radhiallahu 'anhu).

“Barangsiapa mengerjakan satu amalan yang tidak ada perintah kami atasnya, maka amalan itu tertolak.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah radhiallahu 'anha).

Tidak ada satu riwayat pun yang menyebutkan bahwa para Al-Khulafa Ar-Rasyidin atau shahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang lain ataupun ulama-ulama Ahlus Sunnah yang menjadi panutan mengamalkan perayaan maulid ini. Bahkan sesungguhnya bid’ah maulid ini pertama kali dilakukan oleh sebagian orang dari dinasti Fathimiyyin Al-’Ubaidiyyin dari golongan sesat Syiah yang mengaku-aku bahwa mereka adalah keturunan Fathimah radhiallahu 'anha bintu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Jika orang-orang terbaik dari umat ini tidak melakukannya, lalu apa yang menyebabkan seseorang melakukannya? Apakah dirinya merasa lebih tahu dan lebih tinggi ilmunya dari para shahabat? Ataukah dia menganggap para shahabat lebih tahu namun mereka tidak mau mengamalkan ilmunya? Sungguh betapa jelasnya kesesatan yang ia lakukan.


Sumber :
1.           Kamus Muhith. Cet. Muassasah Arobiah
2.           Lisanul arab. Dar Ihya At-turots Al-aroby.
3.           Tajul ‘Arus. Maktabah Tijariyah.
4.           Syarh Nawawy Ala shoheh Muslim. Matba’ah Mishriyah.
5.           Fathul baary. Cet. As-Salafiyyah.
6.           Al-I’tishom. Matba’ah Sa’adah.
7.           Qowaidul Ahkam. Cet. Maktabah Kulliyyat Azhariah.
8.           Jaami’ul ulum walhikam.Tauzi’ Dar ifta’.
9.           Sunan Ibnu Majah. Cet. Al-halaby.
10.      Al-badrut Tholi’ Kar.Imam Muhammad bin Ali As-Syaukany. Cet.Dar
  Ma’rifah.
11.      Qoidah jalilah fit tawassul wal wasilah karya Syekhil Islam. Cet. Matba’ah
  salafiyah.
12.      Al-jawabul baahir fi zuwwaril maqobir karya Syekhil Islam. Cet. Matba’ah
  salafiyah.
13.      Majmu’ fatawa Syekhil Islam Ibnu Taimiah.
14.      Tobaqot As-Syafi’iyyah karya Ibnu Qody Syuhbah. Cet. Alamul kutub.
15.      Siyar A’lamin Nubala’ Karya Az-Zahaby. Cet. Muassasah Risalah.
16.      Al-Bidayah wan Nihayah karya Ibnu katsir.
17.      Ar-Roddul Qowy Alar Rifa’i wal majhul wabnu alawy. Karya Syekh      Hamud At-Tuwaijiry. Cet. Darul liwa’.
18.      Iqtidho-ussirotil mustaqim. Darul majdy.
19.      An-Nujum Az-Zahiroh fi tarikh mishr wal qohiroh. Cet. Hai-ah mishriyah
‘ammah lilkitab.
20.      Taudhih Mustabihinnisbah. Cet. Muassasah Risalah.
21.      Al-Mi’yarul mu’rob. Cet. Darul ghorb tahun 1401 H.
22.      Majmu’ah Rosa-il wal masa-il Najdiyah. Cet. Matba’atul manar.
23.      Ad-Durorus Saniyah.
24.      As-Sunan wal mubtada’at Al-Muta’alliqoh bil azkar was sholawat.  Keluaran Darul jil, Bairut. Tahun 1408 H.
25.      Al-Madkhal karya Ibnul Haj. Keluaran Darul fikr tahun 1401 H.
26.      I’lamul muwaqqi’in. Daruil jil.Bairut.
27.      Husnul maqshad ( dirangkap dengan kitab Al-hawy lil fatawy karya suyuthi). Darul baz tahun 1402 H.
28.      Subulul Huda war rosyad fi siroti khairil ‘ibad. Karya sholihy.
29.      Tasyniful aazan.
30.      Fatawa Syathiby. Abi Ishaq Ibrahim. Cet. Ketiga tahun 1406 H.
31.      Tarikh Islam, Hasan Ibrohim Hasan. Maktabah Nahdhoh Mishriyah. Cet ketujuh tahun 1965 M.
32.      Majmu’ Syarh muhazzab karya Nawawy. Darul fikr.
33.        As-Sunan Al-Kubro karya Baihaqy. Darul fikr.
34.        Al-Muqoddimat Al-Mumahhadat karya Ibnu Rusyd. Matba’ah Sa’adah.
35.      Islam Kaffah


KITAB APA HUKUMNYA MERAYAKAN MAULID NABI ?

Pertanyaan yang dilontarkan kepada Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy Syaukani ( 1173 1250 H )

Biografi Pengarang:

Namanya: Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Abdullah bin Hasan bin Muhammad bin Sholah bin Ibrahim bin Muhammad Al’afif bin Muhammad bin Rizq.

Gelarnya: Asy Syaukani. Dan dia kenal dengan gelar ini.

Tempat dan tanggal lahir: Beliau lahir di daerah Syaukan pada tahun 1173 H.

Guru-guru beliau yang masyhur:

[1].Gurunya yang paling pertama adalah orang tuanya, beliau membaca kepadanya kitab syarh Al azhar‌ dan yang lain-lain.

[2] Imam Abdurrahman bin Qosim Al Madani.

[3] Imam Ahmad bin ‘Aamir Al Hidai. Dan yang lain-lain.

Tugas/ kerja beliau:

Beliau menjabat sebagai Qhodi di Shan’aa - Yaman, sementara umurnya diantara tiga atau empat puluh tahun.

Karangan-karangannya:

[1] As Sailul Al Jarrar ‘Ala Hada’iq Al Azhar‌

[2] Fathu Al Qodir ‘ tentang tafsir Al Qur’an.

[3] Irsyadul Fuhul ila tahqiq Al Haq min ‘ilmi al Ushul’.

[4] Nailul Autar syarh Muntaqa Al Akhbar’

[5] Risalah fi Hukmil Maulid‌.

[6] Ad Durar Al Bahiyyah‌ dan syarahnya ‘ Ad Darari Al Mudhiyyah’. Dan yang lain-lain berupa kitab-kitab yang bermanfaat.

Wafatnya:

Beliau meninggal pada bulan Jumadil akhir pada tahun 1250 H, dan dikebumikan di Al Huzaimah‌.

Bukti Kebenaran Kitab Ini Milik Pengarang:

Pertama: Beliau menisbatkan kitab ini kapada dirinya didalam kitab Al-Badru Ath-Thooli’‌(2/221) tatkala berbicara tentang karya-karya beliau, sambil berkata: dan risalah tentang hukum maulid‌.

Kedua: Didapatkan pada lembaran pertama dari manuskrif ini, kumpulan dengan nomor: (7800) yang mencakup 23 manuskrif, semuanya milik pengarang yang terdapat di Universitas Malik Su’ud di Riyadh.

Ketiga: Pengarang menutup manuskrif ini dengan perkataannya: Ditulis oleh yang menjawab Muhammad bin Ali Asy syaukani‌.

Keempat: Pengarang memuji dan mencela dua orang yang hidup semasa dengan beliau, yaitu :Al Imam Al Mahdi Lidinillah Al ‘abbas bin Al Manshur (yang dipuji) dan anaknya : Al Imam Al Manshur Billah (yang dicela). Lihat biografi mereka berdua halaman (50 dan 51).

Kelima: Risalah ini bersamaan dengan risalah yang lain yang milik beliau juga dengan judul: Ithla’ Arbabi Al Kamal Ala Risalti Al Jalal Fi Al Hilal Fi Ikhtilal‌. Dan risalah ini ada namanya di Al Badru Ath-Tholi’‌ (2/220).

Sifat Dari Manuskrif Ini:

Manuskrif ini terdapat dalam kumpulan yang mencakup 23 risalah, seluruhnya milik As Syaukani, pada setiap halaman jumlah barisnya sampai 33 baris, dan jumlah kalimatnya 14 kalimat, tulisannya naskh bagus dan jelas, dan tidak ada yang terhapus kecuali tiga kalimat disebabkan oleh kelembaban dan lain-lain. Dan manuskrif ini diawalnya terdapat Risalah yang lain dan diakhirnya risalah yang ketiga dengan judul: Ithla’ Arbabi Al Kamal Ala Risalati Al Jalal Fi Al Hilal Fi Ikhtilal‌.

Kerja Saya (Pentahqiq) Dalam Risalah ini:

[1] Menulisnya, memperbaiki apa yang seharusnya diperbaiki dan memberi tanda baca.

[2] Mengomentari sebagian permasalahan.

[3] Menulis biografi nama-nama yang terdapat dalam risalah ini.

Judul Risalah:

Saya pilih judul risalah ini sesuai dengan yang ditulis oleh pengarang didalam kitab‌ Al Badru Ath Tholi’ (2/221) yaitu Risalah Tentang Hukum Maulid‌. Dan apa yang didapatkan pada lembaran pertama tentang judul-judul manuskrif-maniskrif yang ada bersama kumpulan ini kemungkinan ijtihad para penulis. Dan semoga Allah memberikan taufiq-Nya.
______________________________________________________________________________
  • Kandungan buku
RISALAH TENTANG HUKUM MEMPERINGATI MAULID NABI -shallallahu ‘alaihi wa sallam-

Beliau -rahimahullah- telah ditanya tentang hukum maulid:

Maka dia menjawab: Saya tidak mendapatkan sampai sekarang dalil (argumentasi) didalam Al Qur’an, Sunnah, Ijma’, Qiyas dan Istidlal yang menjelaskan landasan amalan maulid, bahkan kaum muslimin telah sepakat, bahwa perayaan maulid nabi tidak ada pada masa kurun yang terbaik (para shahabat, pent), juga orang yang datang sesudah mereka (para tabi’in) dan yang datang sesudah mereka (tabi’ tabi’in). Dan mereka juga sepakat bahwa yang pertama sekali melakukan maulid ini adalah Sulthan Al Muzhaffar abu Sa’id Kukburi, anak Zainuddin Ali bin Baktakin, pemilik kota Irbil dan yang membangun mesjid Al Muzhaffari di Safah Qaasiyyun, pada tahun tujuh ratusan, dan tidak seorangpun dari kaum muslimin yang tidak mengatakan bahwa maulid tersebut bukan bid’ah.

Dan apabila telah tetap hal ini, jelaslah bagi yang memperhatikan (para pembaca) bahwasanya orang yang membolehkan maulid tersebut setelah dia mengakuinya sebagai bid’ah dan setiap yang bid’ah itu adalah sesat, berdasarkan perkataan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidaklah dia (yang membolehkan maulid) mengatakan kecuali apa yang bertentangan dengan syari’at yang suci ini, dan tidak ada tempat dia berpegang kecuali hanya taqlid kepada orang yang membagi bid’ah tersebut kepada beberapa macam, yang sama sekali tidak berlandasakan kepada ilmu.

Dan kesimpulannya kita tidak bisa menerima dari seseorang yang mengatakan bolehnya suatu amalan kecuali setelah dia sebutkan argumentasi yang mengkhususkan bid’ah yang dilakukannya tersebut keluar dari keumuman (hadits yang mengatakan: setiap yang baru itu adalah bid’ah dan setiap yang bid’ah adalah sesat, pent) yang tidak dia ingkari, adapun semata-mata ungkapan yang mengatakan kata sipulan atau pendapat sipulan‌ ini sama sekali tidak bermanfaat, sebab kebenaran itu lebih besar (agung) dari setiap orang, dan jikalau seandainya kita percaya (berpegang) kepada perkatan manusia dan kembali berpegang kepada omongan belaka, tiada lain orang yang membolehkan bid’ah tersebut keculai orang yang menyimpang dari jalan kaum muslimin.

Adapun al ‘atirah (para keluarga rasulullah) dan para pengikutnya tidak kita temukan satu perkataan pun dari mereka yang membolehkan maulid tersebut, bahkan perkataan mereka seakan sepakat mengatakan: bid’ah ini muncul jauh dibelakangan hari, dan ia merupakan sarana yang paling jelek untuk timbulnya kerusakan (kemungkaran), oleh karena itu kamu melihat negeri ini (Yaman) bersih dari segala tipu daya orang-orang sufi, dan mulid nabi ini merupakan salah satu dari tipu daya mereka -Alhamdulillah-, dan khalifah yang terakhir yang membela (memperjuangkan) yang demikian itu adalah al Mahdi Lidinillah Al ‘Abbas bin Al Manshur, sesungguhnya dia telah melarang perayaan mulid dan memerintahkan untuk penghancuran sebagian kuburan yang diyakini oleh orang-orang awam, semoga Allah ta’ala memberikan ilham (taufig) kepada khalifah kita sekarang Al Manshur Billah -semogah Allah memeliharanya- untuk mengikuti as salafus sholeh (para shahabat, tabi’in, tabi’ tabi’in dan yang mengikuti jejak mereka, pent). Karena permasalahannya sebagaimana yang di ungkapkan dalam gubahan berikut ini:

Saya melihat kilatan bara api dicela-cela abu

Hampir saja bara tersebut akan menyala.

Bertebarnya bid’ah itu lebih cepat dari menyebarnya api, betapa lagi bid’ah maulid, karena diri orang yang awam sangat menyukainya (merindukanya), ditambah lagi jikalau yang hadir bersama mereka orang-orang yang berilmu, terhormat dan yang berpangkat, sesudah itu mereka (orang yang awam) akan memahami bahwasanya perbuatan ini (maulid) merupakan tujuan dan bukanlah suatu bid’ah‌, sebagaimana yang diungkapkan dalam gubahan ini:

Orang yang berilmu yang tidak peduli dengan kesalahannya adalah kerusakan yang besar

Dan lebih rusak lagi orang yang bodoh yang banyak beribadah Keduanya merupakan fitnah yang besar bagi alam ini bagi orang yang menjadikan mereka panutan didalam agamanya.

Dan tidak diragukan lagi bahwasanya masyarakat awam merupakan orang yang paling cepat menerima segala bentuk sarana yang membawa kepada kerusakan, yang mana mereka dengan sarana tersebut bisa melakukan hal-hal yang diharamkan, seperti maulid dan semisalnya, apalagi jika ditambah dengan kehadiran orang yang yang dikenal keilmuan, kehormatan dan kedudukannya, mereka melakukan yang terlarang dengan bentuk ketaatan, tenggelam dalam jurang kebodohan dan kesesatan, sehingga mereka (orang awam) akan berlepas diri dari pelarangan sambil berkata: Telah hadir bersama kami sayyid (tuan) si pulan, sipulan dan sipulan‌.

Jangankan orang yang awam, sebagian orang yang menuntut ilmupun juga telah duduk didepan saya untuk membaca (mempelajari) sebagian dari ilmu-ilmu ijtihad, lalu dia memberitahukan kepada saya: bahwa dia telah hadir pada malam perayaan maulid tersebut, pada bulan ini (Rabiul awwal, pent)‌ maka saya ingkari perbuatannya, lantas dia berkata: telah hadir bersama kami tuan sipulan, sipulan dan sipulan‌, lalu saya bertanya: bagaimana bentuk pelaksanaannya didepan mereka para tuan itu‌, maka dia menjawab: ‘yang membaca maulid tersebut seorang laki-laki yang bodoh, sementara para tuan-tuan tersebut memukul gendang sambil menyanyi dan mendengarkannya, sampai dia berdiri seolah-olah lepas dari ikatan sambil mengucapkan: Selamat datang wahai cahaya mataku, selamat datang‌ dan berdiri pula bersamanya seluruh yang hadir termasuk para tuan tersebut dan yang lainnya, lalu dia bersuara sambil berdiri, begitu juga mereka yang hadir, tatkala capek sebagian yang hadir lalu dia duduk, lalu sebagian para tuan tersebut melarangnya sambil berkata yang dimukanya terlihat kemarahan-: berdiri wahai sibodoh‌, (dengan lafazd seperti ini), dan mereka tidak ragu lagi bahwasanya Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa sallam telah sampai kepada mereka pada waktu itu, kemudian mereka saling bersalaman dan sebagian orang yang awam dengan segera memberikan bermacam-macam wangian ketangan mereka, seolah-olah mereka sedang mempergunakan kesempatan bertemu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, innalillahi wainnailaihi raji’un !! lalu mana kehormatan (kemuliaan) agama ini ?, jikalau sudah hilang, mana rasa malu dan akal yang sehat ?.

Seandainya tidak ada terjadi dihadapan mereka para tuan tersebut satupun dari bentuk kemungkaran, -sabagaimana persangkaan baik kita terhadap mereka,- tapi apakah mereka tidak tahu bahwa orang awam menjadikan yang demikian itu sebagai sarana untuk kemungkaran, menutupi dengan kehadiran mereka segala bentuk kemungkaran, melakukan pada perayaan maulid mereka- yang tidak dihadirinya- setiap kemungkaran, sambil berkata: telah hadir dalam perayaan maulid sipulan, sipulan dan sipulan, mereka berpegang dengan nama maulid.

Maka disini jelaslah bagimu rusaknya I’tidzar (dalil) sebagian orang yang membolehkannya dengan alasan ‌ apabila tidak terjadi dalam perayaan tersebut kecuali berkumpul untuk makan dan dzikir, maka tidak apa-apa, dan ini tidak mengharuskan haramnya hal-hal yang terlarang yang menyertai maulid tersebut‌.

Karena kita katakan: Perayaan maulid dalam posisinya sebagai bid’ah sesuai dengan pengakuanmu- biasanya disertai dengan banyak bentuk kemungkaran dan sudah menjadi sarana untuk melakukan kemaksiatan yang banyak. Dan adanya perayaan maulid seperti ini yang tidak mencakup selain makanan dan dzikir lebih baik dari korek api yang merah.

Dan telah tetap bahwa saddudz dzarai’ (menutupi jalan-jalan) dan melarang seluruh sarana yang menjurus kepada sesuatu yang terlarang‌ merupakan kaidah Syariat yang amat penting, yang dianggap wajib oleh para jumhur (ulama). Dan jikalau seandainya masih ada dalam dirimu rasa inshof/kejujuran maka janganlah kamu ingkari permasalahan ini.

Dan jika telah jelas bagi anda bahwa tiada seorangpun dari ahli bait dan para pengikut mereka yang membolehkan perayaan Maulid, dan anda ingin juga mengetahui pendapat ulama selain ahli bait, maka keterangannya sebagai berikut :

Kami telah jelaskan pada anda bahwa semua kaum muslimin telah bersepakat bahwasanya ia adalah bid’ah, hanya saja para penguasa berpengaruh besar dalam menghidupkan bid’ah atau menghancurkannya. Maka tatkala sang pencetus perbuatan bid’ah ini adalah seorang raja yaitu saaidah bin dihyah, dimana beliau menyusun sebuah karangan dalam masalah itu yang dinamakannya :

Penjelasan Gamblang Tentang Maulid Sang Pemberi Kabar Gembira Dan kabar Pertakut‌, meskipun beliau ahli dalam masalah ilmu hadits, tetapi kitab tersebut kosong dari dalil-dalil yang kuat, tidak dapat diingkari, ia membolehkan nya dengan imbalan seribu dinar sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnul Khallakaan dan cinta dunia, bisa berbuat lebih dari ini.

Kemudian setelah terjadi perayaan maulid ini, tegaklah perselisihan yang besar, dan bermunculanlah karangan-karangan tentang masalah ini, antara yang melarang dan yang membolehkan, diantara pengarang-pengarang tersebut ialah Alfakihany Almaliky menulis sebuah kitab yang berjudul : Pendapat Yang Mendasar Dalam Pelaksanaan Maulid‌ di dalamnya beliau mencela dan mencaci, dan diantara gubahan dalam kitab itu yang ditujukan kepada gurunya Al-Qusyairy :

Kemunkaran telah dianggap baik.

Dan kebaikan menjadi munkar di zaman yang pelik.

Para ulama tak bernilai lagi.

Sedangkan orang-orang bodoh mendapat kedudukan tinggi

Mereka menyeleweng dari kebenaran.

Dulunya pemimpin-pemimpin mereka tak diperhatikan Maka kukatakan kepada orang-orang baik lagi bertaqwa Dan beragama, tatkala memuncaknya kesedihan Janganlah kalian menyesali keadaan, telah tiba giliran mu pada masa yang asing.

Kemudian juga Al-Imam Abdillah bin Al-Haaj dengan nama kitabnya: Pintu Masuk Dalam Mengamalkan Maulid‌, dan Imam Ahli Qiro-at Al-Jazary dengan nama kitabnya:

Pengenalan Terhadap Maulid Yang Mulia‌, dan juga Imam Al-Hafidz Ibnu Naashir dengan kitabnya: Sumber Utama Dalam Pelaksanaan Maulid Sang Pembawa Petunjuk‌, dan Imam Suyuthi dengan kitabnya : Tujuan Yang Baik Dalam Melaksanakan Maulid‌ di antara mereka ada yang benar-benar tidak membolehkan, dan ada juga yang membolehkan dengan bersyarat kalau tidak dicampuri oleh hal-hal yang munkar, meskipun mereka mengakui bahwasanya itu merupakan perbuatan bid’ah, namun mereka tidak mampu untuk memberikan argumentasi yang kuat, adapun dalil mereka dengan hadits bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dikala sampai di Madinah beliau mendapati orang-orang yahudi berpuasa pada hari asyura, lalu beliau menanyakan sebabnya, hari tersebut adalah hari dimana Allah menyelamatkan Nabi Musa dan membinasakan Fir’aun, lalu kami berpuasa pada hari itu sebagai rasa syukur kepada Allah ta’ala sebagaimana yang dilakukan Ibnu Hajar, atau dengan hadits bahwasanya Rasulullah mengaqiqahkan dirinya sendiri setelah kenabian, sebagaimana yang dilakukan suyuthi, ini merupakan suatu yang sangat aneh dimana itu terjadi karena keinginan untuk menegakkan bid’ah.

Walhasil bahwa sesungguhnya orang-orang yang membolehkan yang mereka itu segelintir kalau dibandingkan dengan orang-orang yang mengharamkan mereka sepakat bahwasanya tidak boleh kecuali dengan syarat hanya untuk makan-makan dan berdzikir. Telah kita jelaskan bahwasanya ia sudah menjadi wacana untuk hal-hal yang munkar. Hal ini tidak satu pun yang bisa mengingkarinya. Dan adapun peringatan maulid seperti ini yang terjadi sekarang semuanya bersepakat bahwa ia tidak boleh. Rasanya semua ini sudah cukup bagi kita, meskipun semestinya membutuhkan penjelasan yang panjang lebar, membeberkan pendapat-pendapat orang yang membolehkan kemudian dibantah, hal yang demikian tentu akan menghasilkan beberapa buah buku. Dan Allah tentu akan mengilhamkan kepada salah seorang petinggi negara untuk mencegah perbuatan ini, maka ia akan mudah dikikis habis, yaitu dengan mencegah generasi yang akan diajak untuk melakukan perayaan maulid serta mengecamnya. Cara seperti ini bisa dilakukan oleh setiap orang.

Adapun pertanyaan anda tentang kejadian besar yang terjadi di Qotor Tuhamy, di mana mereka menghiasi batu-batu, lalu mereka tawaf di sekelilingnya, sebagai mana tawaf di sekeliling Ka’bah, telah sampai kepada orang yang mencintai anda (yaitu pengarang -pent)- pertanyaan sebagian pemuka penduduk Tuhamah, yang ditulis oleh Sayyid Muhammad Ahmad An-Nu’amy, pertanyaan itu telah saya jawab dengan panjang lebar, maka bacalah ia kalau memungkinkan, dan pertanyaan itu memuat keyakinan mereka terhadap orang-orang yang telah mati, dan batu-batu itu, bahwasanya dia dapat memberikan mudharat dan manfaat, hal ini adalah perbuatan kufur yang tidak diragukan lagi, bahkan ia lebih dari kekufuran penyembah-penyembah berhala dulu, karena orang-orang itu berkata: kami mengibadati berhala-berhala itu agar mereka mendekatkan kami kepada Allah sedekat-dekatnya.

Sedangkan mereka ini berkata: kami ibadati mereka supaya dapat memberikan mudharat dan manfaat, maka musibah mana yang lebih keji dari pada kekufuran, dan kemungkaran mana yang lebih dahsyat darinya ?! dan bagaimana bisa orang yang sanggup untuk melaksanakan perintah-perintah beranggapan bahwasanya ia termasuk orang-orang yang beriman, sedangkan saudara-saudara sesama muslim telah terjerumus kedalam kekufuran yang nyata ? Innalillahi wa inna ilaihi rooji’uun, dan semoga Allah merahmati Al-Mahdy lidinillah Al-Abbas bin Mansur Beliau telah berusaha menghancurkan kemungkaran di setiap tempat, dan semoga Allah mengilhami pemimpin zaman sekarang untuk melakukan kewajiban yang sangat penting ini.

Sebagai kesimpulan, tidak ada seorangpun yang membutuhkan dalil tentang jeleknya amalan ini, tiada seorang muslimpun yang ragu akan kufurnya perbuatan ini, dan tiada seorangpun yang menyelisihi tentang buruknya kekufuran, Al-Qur'an dan sunnah penuh oleh dalil-dalil yang menetapkan jeleknya kekufuran, yang membeberkan kepada orang kafir apa-apa yang mereka yakini. Siapa yang membaca satu lembar saja dari Al-Quran niscaya ia akan menemukan dalil-dalil tentang tauhid, dan tentang jeleknya syirik dan kufur, apa yang membuatnya puas dan merasa cukup, maka tidak akan ada faedahnya kalau kita berpanjang lebar, jikalau ada orang yang ingin menyebutkan secara detil dalil-dalil tentang itu baik naql ataupun akal, pasti akan mengeluarkan kitab yang berjilid-jilid.

Ya Allah sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa kemampuan kami terbatas untuk melawan kerusakan-kerusakan ini dan menghancurkan kemungkaran-kemungkaran ini, tidaklah ada yang bisa kami lakukan kecuali hanya memberi peringatan dan menyampaikan, dan itu telah kami lakukan. Ya Allah turunkan murka Mu karena agama Mu, dan sucikanlah ia dari noda-noda para syetan yaitu mereka yang menyembah kubur, dan selamatkanlah kami dari kotoran-kotoran yang mengeruhkan kesucian agama yang kokoh ini.
Wallahu 'alam Bishawab ..

Ditulis oleh penjawab :
Muhammad bin Ali As-Syaukany pada waktu subuh hari kamis Bulan Rabiul awwal 1306 H.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar