Bismillahir rohmaanir rohiim..
Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabraakatuh ..
Sesungguhnya segenap pujian hanyalah milik Allah, kami puji Dia, kami memohon pertolongan, ampunan serta taubat kepada-Nya. Kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diri-diri kami dan dari kejelekan amal perbuatan kami. Siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, niscaya tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan siapa yang disesatkan Allah maka tidak ada yang dapat memberi petunjuk kepadanya.
Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi melainkan Allah semata, tidak ada sekutu bagi Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah hamba dan utusan-Nya.Wa Ba'du
Sesungguhnya seutama-utama kewajiban atas seorang mu’min adalah keyakinannya, yaitu beriman secara mantap bahwa Allah telah menyempurnakan agama-Nya bagi kita dan mencukupkan nikmat-Nya atas kita dengan dibangkitkannya serta diutusnya seorang rasul yaitu Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Pada hari ini te lah Kusempurnakan untuk kalian agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu menjadi agama bagimu.” (Q.S. Al-Maidah3).
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:
“Aku telah meninggalkan kalian atas hujjah yang terang, malamnya seperti siangnya, maka orang yang menyimpang dari hujjah (keterangan) tersebut setelahku pasti akan binasa.”
(H.S.R.Ibnu Majah. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dlm Shahih Sunan Ibnu Majah, hadits no.5)
Oleh karena itu bagi seorang mu’min yang menginginkan dan sedang mencari jalan keselamatan harus membatasi tingkah laku dan ibadahnya sesuai dengan apa yang disyariatkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala untuknya melalui lisan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, serta tidak boleh ridha terhadap dirinya atau orang lain siapapun dia jika ada yang membuat syariat dalam agama Allah subhanahu wa ta’ala atau menganggap sesuatu itu baik berdasarkan akalnya semata dan hawa nafsunya apa-apa yang tidak diizinkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala.
Maka orang yang mencari kebenaran dan mencintai As-Sunnah dia tidak akan beramal dengan suatu amalan yang tidak diperbolehkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala baik perupa perayaan, atau peringatan, atau ibadah lainnya, dia hanya akan beramal dengan amalan yang ada keterangannya, Lebih-lebih lagi jika perbuatan tersebut dilakukan dengan niat ibadah dan mendapatkan pahala. Dari sini kita dapat memahami ucapan ulama : “ Segala macam ibadah dilakukan harus dengan tauqifiyyah“, yaitu harus berdasarkan nash dari Al-Qur’an atau As-Sunnah, tidak ada tempat bagi akal untuk membuat syariat atau mengatakan baik buruknya suatu perbuatan. Apabila engkau menginginkan dalil-dalil maka tidak terhitung banyaknya, diantaranya :
A. Firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah.” (Q.S. Asy-Syura 10)
B. Firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikuti aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” (Q.S. Ali Imran 31)
C. Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Siapa yang mengada-adakan sesuatu dalam agama kami ini, sesuatu yang tidak ada dasar daripadanya, maka dia itu pasti tertolak.” (H.S.R. Bukhari dan Muslim)
D. Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Janganlah kalian mengada-adakan perkara- perkara yang baru dalam agama, karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” (H.S.R. Abu Daud dan Ibnu Majah. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Daud, had its no. 3851).
Saya mohon agar anda berhenti sejenak memperhatikan ucapan yang sangat teliti, diucapkan bukan berdasarkan hawa nafsu tetapi berasal dari wahyu, yaitu ….. (karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah dan setiap yang bid’ah adalah sesat) , sungguh jelas bagimu bahwa kata “setiap” termasuk dari ucapan-ucapan yang mempunyai arti umum, mencakup segala macam bid’ah tanpa terkecuali.
E. Ucapan Ibnu Mas’ud radliyallahu 'anhu: “Ikutilah kalian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan janganlah kalian berbuat bid’ah, maka itu sudah cukup bagimu.”
Akhi Mu’min…
Apabila dalil-dalil di atas yang merupakan pemahaman aqidah telah engkau yakini secara mantap dan diterima dengan benar maka engkau dapat menilai setiap ibadah baik dalam bentuk perkataan atau amalan berdasarkan standar ini, apakah dia itu disyariatkan atau merupakan suatu hal yang diada-adakan apakah dia itu sunnah atau bid’ah. Kita ambil contoh perayaan memperingati maulid Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, kecintaan kita, imam, teladan, dan pemimpin kita ke jalan Allah subhanahu wa ta’ala yang lurus, penutup para nabi dan tuan para rasul, pemimpin orang-orang yang mempunyai wajah cemerlang (merupakan keistimewaan umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa wajah-wajah mereka cemerlang di hari akhir dikarenakan bekas air wudhu’) yang diutus sebagai imam dan rahmat bagi seru sekalian alam. Dan kami akan bahas masalah ini dengan adil dan jujur terlepas dari hawa nafsu dan segala ketetapan yang dibuat manusia pada masa lalu dan menimbangnya dengan timbangan syariat serta menilainya berdasarkan kitab Allah subhanahu wa ta’ala dan sunnah nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam yang bersabda:
“Sesungguhnya sebenar-benar ucapan adalah kitab Allah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan sejelek-jelek perkara adalah sesuatu yang diada-adakan, dan setiap sesuatu yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” (Hadits shahih riwayat Muslim).
Beliau juga telah mewasiatkan kepada kita melalui haditsnya agar kita berpegang teguh dengan petunjuk sebaik-baik generasi dan sebersih-bersihnya, beliau bersabda:
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian orang-orang sesudah mereka, kemudian orang-orang sesudah mereka.” (H.S.R Bukhari dan Muslim).
Dan hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala kita memohon agar memperlihatkan kepada kami bahwa yang haq itu haq dan memberinya kemampuan untuk mengikutinya dan memperlihatkan kepada kami bahwa yang batil itu batil dan memberinya kemampuan kepada kami untuk menjauhinya.
Awal Mula Berkembangnya Peringatan Maulid Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam Al-Hafizh Ibnu Katsir menyebutkan dalam kitabnya Al-Bidayah wan Nihayah (11\172) bahwa Daulah Fathimiyyah ‘Ubaidiyyah nisbah kepada ‘Ubaidullah bin Maimun Alqadah Alyahudi yang memerintah Mesir dari tahun 357 H-567 H. Merekalah yang pertama-tama merayakan perayaan-perayaan yang banyak sekali diantaranya perayaan Maulid Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Keterangan ini ditulis juga oleh Al-Maqrizy dalam kitabnya Al-Mawa’idz wal I’tibaar (1\490), dan Syaikh Muhammad Bakhit Al-Muthi’i mufti Mesir dalam kitabnya Ahsanul Kalam fiima Yata’allaqu bissunnah wal Bid’ah minal Ahkam [halaman 44- 45], dan Syaikh ‘Ali Mahfudz menyetujui mereka dalam kitabnya yang baik Al-Ibdaa’ fii Madhaarr Al-Ibtidaa’ [halaman 251] dan selain mereka masih banyak lagi. Jadi yang pertama- tama mensyariatkan perayaan ini mereka adalah orang-orang Zindiq (menampakkan keislaman untuk menyembunyikan kekafiran) Al-‘Ubaidiyyun dari Syi’ah Rafidhah keturunan Abdullah bin Saba Al-Yahudi. Mereka tidak mungkin melakukan yang demikian karena cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tetapi karena ada maksud lain yang tersembunyi.
Sebagaimana kita ketahui bahwa segala kebaikan didapat dengan mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan tiga generasi terbaik (Shahabat, tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in) dan siapa yang mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan cara beribadah yang belum pernah dilakukan pada masa yang terbaik tersebut maka ibadahnya tertolak, ia menanggung dosanya meskipun dilakukan dengan penuh keikhlasan dan kesungguhan.
Dan peringatan Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana engkau ketahui wahai saudaraku:
1. Belum pernah dilaksanakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak juga Khulafa Ar-Rasyidin dan selain mereka dari para shahabat serta para Tabi’in yang mengikuti para shahabat dengan kebaikan yang merupakan generasi terbaik, dan mereka adalah orang-orang yang paling mengerti tentang As-Sunnah dan paling sempurna cintanya kepada Rasulullah hallallahu ‘alaihi wasallam dan paling depan dalam mengikuti syariatnya, seandainya peringatan maulid itu baik niscaya mereka akan mendahului kita untuk memperingatinya.
2. Sebagaimana engkau ketahui yang pertama-tama melaksanakannya adalah orang-orang Zindiq masa pemerintahan Fathimiyyah di abad ke-empat hijriyyah.
3. Menyerupai orang-orang Nashrani yang memperingati kelahiran Al-Masih ‘Alaihis Salam, padahal kita telah dilarang untuk menyerupai mereka dan meniru mereka dalam hari raya mereka.
4. Sesungguhnya merayakan Maulid Nabi dan yang semisalnya dapat dipahami bahwa Allah subhanahu wa ta’ala belum menyempurnakan dien kepada umat ini, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam belum menyampaikan apa yang seharusnya dilakukan oleh umat, dan generasi yang utama belum sampai kepada pengagungan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam mencintainya, dan memuliakannya dengan sebenar-benarnya, berbeda dengan orang-orang belakangan ini. Pasti tidak ada yang mengatakan atau meyakini yang demikian kecuali orang Zindiq yang keluar dari dien Allah subhanahu wa ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Tidaklah Allah membangkitkan suatu nabi kecuali sungguh mesti baginya untuk menunjukkan umatnya tentang kebaikan apa yang beliau ketahui kepada mereka.” (H.S.R. Muslim).
Dan Nabi kita shallallahu ‘alaihi wasallam adalah seutama-utama dan sesempurna-sempurna serta penutup para nabi, jika perayaan Maulid Nabi merupakan bagian dari dien niscaya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam akan menjelaskannya kepada umat atau melakukannya semasa hidupnya atau para shahabat radliyallahu 'anhu akan melakukannya. Tidak ada seorangpun yang mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak melakukannya karena kerendahan hati beliau, ini menghujat beliau shallallahu ‘alaihi wasallam karena konsekuensinya bahwa beliau telah mengurangi dan menyembunyikan sesuatu dari kebaikan, hal ini mustahil terjadi pada diri beliau, juga berarti menghujat para shahabat radliyallahu 'anhum yang telah Allah subhanahu wa ta’ala puji, karena konsekuensinya bahwa mereka mengurangi suatu amalan yang penuh berkah, berbeda dengan orang sekarang yang lebih pintar dari mereka.
Hudzaifah ibnul Yaman radliyallahu 'anhu berkata: “Setiap ibadah yang belum pernah dilakukan oleh para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam maka janganlah kalian kerjakan, sesungguhnya generasi awal tidak meninggalkan bagi generasi yang akhir perkataanpun, maka bertakwalah kepada Allah wahai para qori’ dan ambillah jalan orang-orang sebelum kamu.”
5. Memeriahkan malam maulid bukan merupakan bukti kecintaan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, berapa banyak yang engkau lihat dan dengar tentang orang yang memeriahkan malam perayaan tersebut, mereka adalah sejauh-jauh orang dari petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, kebanyakan dari mereka adalah orang-orang fasiq dan sering berbuat dosa seperti bermuamalah dengan riba, mengentengkan sholat, menyia-nyiakan sunnah-sunnah yang zhahir dan yang batin dan segala perbuatan keji dan yang membinasakan. Bukti kecintaan yang benar kepada sayyidina, habibina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah sebagaimana yang diinginkan Allah subhanahu wa ta’ala sebagaimana firman-Nya:
“Katakanlah, jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam), niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu …” (Q.S. Ali Imran 31).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga telah bersabda:
“Semua umatku masuk jannah (surga) kecuali yang enggan” Mereka (para shahabat radliyallahu 'anhum) berkata: “Siapa wahai rasulullah orang yang enggan?” Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “siapa yang taat kepadaku maka ia masuk jannah (surga) dan siapa yang bermaksiat kepadaku maka dia telah enggan.” (H.S.R. Bukhari).
Maka kecintaan yang benar kepada beliau shallallahu ‘alaihi wasallam adalah dengan mengikutinya dan berpegang teguh dengan petunjuknya baik secara zhahir maupun batin, dan berjalan di atas jalannya dan mencontoh beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dalam penampilan, perkataan, dan perbuatannya, dalam ciri-cirinya dan akhlaknya, sebagaimana telah dikatakan: “Apabila cintamu benar niscaya engkau taat kepadanya. Sesungguhnya orang yang cinta taat kepada yang dicintai.”
6. Selain itu kebanyakan dari ulama masa sekarang menyebutkan kerusakan-kerusakan yang besar dan kemungkaran-kemungkaran yang terjadi pada perayaan Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan perayaan lainnya, bahkan orang-orang yang ikut serta di dalamnya dan menghadirinya kemudian Allah subhanahu wa ta’ala beri petunjuk dia sehingga menjauhi dan meninggalkannya mengakui akan segi negatif dari perayaan-perayaan bid’ah ini. Diantaranya adalah ucapan-ucapan syirik dan berlebih- lebihan dalam memuji Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam bentuk syair-syair meminta pertolongan dan bantuan dari beliau, dan keyakinan bahwa mengetahui hal yang ghaib, sebagaimana terdapat dalam qasidah Al-Bushairi dijadikan dasar dari malam-malam itu: “Wahai semulia-mulia makhluk, tidak ada dapat saya mintai pertolongannya kecuali engkau pada saat menghadapi segala musibah. Sesungguhnya kedermawananmu meliputi dunia dan seisinya. Dan ilmumu meliputi ilmu Lauh (Mahfuzh) dan Al-Qalam.”
Kemungkaran yang lainnya adalah campur baurnya laki-laki dan wanita, menggunakan musik, minuman keras, memandang (wanita yang bukan mahram dan) anak muda yang belum tumbuh jenggot, mengkultuskan para wali, dan masih banyak kemungkaran lainnya tidak terhitung dan sukar untuk dibatasi dikarenakan adanya perbedaan antara negeri yang satu dengan negeri yang lain, bahkan sebagian mereka lebih mengutamakan malam itu dari malam Lailatul Qadar, sehingga mereka giat serta bersungguh-sungguh beramal pada malam tersebut tidak seperti amalan dia pada malam Lailatul Qadar, juga sebagian diantara mereka yang mengkafirkan orang-orang yang tidak ikut perayaan Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
7. Hari dimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dilahirkan pada hari itu juga beliau shallallahu ‘alaihi wasallam wafat yaitu hari yang ke dua belas dari bulan Rabiul Awwal sebagaimana terdapat dalam kitab-kitab sirah, bukankah sedih pada waktu itu lebih utama dari bergembira, maka secara akal mestinya menjadikan hari itu sebagai hari berkabung lebih pantas daripada sebagai hari raya (nyatanya dalam dien tidak ada hari berkabung, karena memang dien bukan dengan akal).
Para ulama -baik yang membolehkan perayaan maulid atau tidak- telah sepakat bahwa perayan maulid tidak pernah dilaksanakan oleh salafus sholeh (Orang-orang sholih terdahulu), dan diantara pernyataan mereka :
1. Syaikhul Islam Ibnu Taymiyyah dalam kitabnya Iqtidhous Sirotil Mustaqim Mukholafata Ashabil Jahim Hal: 295 tentang Maulid Nabawy: Tidak pernah dilakukan oleh as salafus sholeh padahal dorongan untuk diadakannya perayaan ini sudah ada, dan tidak ada penghalangnya, sehingga seandainya perayaan ini sebuah kebaikan yang murni atau lebih besar, niscaya as salaf (ulama’ terdahulu) -semoga Allah meridhoi mereka- akan lebih giat dalam melaksanakannya daripada kita, sebab mereka lebih dari kita dalam mencintai Rosulullah dan mengagungkannya, dan mereka lebih bersemangat dalam mendapatkan kebaikan. Dan sesungguhnya kesempurnaan rasa cinta dan pengagungan kepada beliau terletak pada sikap mengikuti dan mentaati perintahnya, dan menghidupkan sunnah-sunnahnya, baik yang lahir ataupun batin, serta menyebarkan ajarannya, dan berjuang dalam merealisasikan hal itu dengan hati, tangan dan lisan. Sungguh inilah jalannya para ulama’ terdahulu dari kalangan kaum muhajirin dan anshor yang selalu mengikuti mereka dalam kebaikan. Dan silahkan baca pernyataan beliau dalam kitab Al Fatawa Al Misriyah 1/312.
2. Pernyataan Al-Allamah Al-Imam As Syaikh Tajuddin Umar bin Ali Al Lakhmy Al Iskandary, yang lebih dikenal dengan Al Fakihaany dalam kitabnya Al Maurid Fi Al Kalaam Ala Amali Al Maulid
3. Beberapa ulama’ berpegangan dengan pernyataan Al fakihany dalam bukunya ini, diantaranya :
a- Al Maliky dalam hasiyahnya terhadap kitab Mukhtashor As Syaikh Kholil Al-Maliky 7/168, dalam pembahasan Al Washiyah, beliau menyatakan: Adapun berwasiat untuk perayaan al maulid as syariif, maka Al fakihany telah menyebutkan bahwa perayaan maulid adalah makruh hukumnya.
b- Dan diantara mereka Abu Abdillah Muhammad Ulaisy dalam kitabnya Fathu Al Aly Al Malik Fi Al Fatawa Ala Mazhab Al Imam Malik 1/171 ketika ditanya tentang seorang lelaki yang memiliki seekor sapi yang sedang sakit, padahal dia sedang mengandung, lalu orang itu berkata Kalau Allah menyembuhkan sapiku, maka wajib atasku untuk menyembelih anak yang di dalam perutnya ketika acara maulid Rosulullah, dan kemudian Allah menyembuhkan sapinya dan melahirkan anak betina, kemudian dia menunda penyembelihan sampai anak sapi tersebut besar dan hamil, apakah wajib atasnya untuk menyembelih sapi tersebut atau boleh menyembelih penggantinya atau dia tidak berkewajiban apa-apa ? Maka beliau menjawab pertanyaan ini dengan mengatakan: Alhamdulillah, dan sholawat dan salam semoga terlimpahkan kepada sayidina Muhammad Rosulillah, dia tidak berkewajiban apa-apa, karena perayaan maulid Rosulillah tidaklah disunnahkan.
4. Ungkapkan pengarang kitab Al Mi’yar Al Maqhrib dalam nukilannya terhadap jawaban salah seorang ulama Maqhrib Ustaz abu ‘abdillah al hiar terhadap sebuah pertanyaan yang ditujukan kepadanya tentang seseorang yang mewakafkan sebatang pohon untuk malam maulid, kemudian orang tersebut meninggal, lalu anaknya ingin mengambil pohon tersebut?, berdasarkan apa yang telah ditetapkannya bahwa melakukan maulid pada malam tersebut adalah Bid’ah, mewakafkanan pohon tersebut adalah satu sebab masih berlangsungnya perbuatan tersebut, yang tidak ada anjuran dalam agama untuk melakukannya, sedangkan menghapus dan mencegahnya adalah di tuntut dalam agama, kemudian ia menambahkan lagi, bahwa malam maulid di zamannya dilakukan dengan tatacara kaum fakir(), sebagai mana dalam ungkapan beliau: cara-cara mereka pada saat ini telah mencemari agama, karena kebiasaan mereka dalam perkumpulan tersebut hanya menyanyi dan bersorak-sorai, mereka telah mempengaruhi orang-oramg awam kaum muslimin bahwa hal yang demikian adalah ibadah yang sangat agung untuk dilakukan pada waktu tersebut, dan merupakan jalan para wali Allah, sedangkan kenyataan mereka adalah kaum yang bodoh, yang mana diantara mereka banyak yang tidak mengetahui hukum-hukum yang diwajibkan kepadanya dalam sehari-hari, sebenarnya mereka adalah para pesuruh setan untuk menyesatkan orang awam kaum muslimin, dengan menghiasi kebatilan kepada mereka, mereka telah memasukan kedalam agama Allah sesuatu yang tidak termasuk kedalamnya, karena bernyanyi dan bersorak-sorai adalah termasuk dalam senda-gurau dan main-main, mereka menganggap hal yang demikian adalah perbuatan para wali Allah, ini adalah suatu kebohongan dibuat di atas nama mereka, sebagai salah satu jalan bagi mereka untuk memakan harta manusia dengan cara haram, karena itu kebiasaan mereka adalah menyendiri supaya mereka bebas melakukan hal-hal yang dilarang, maka apa yang diwakafkan untuk hal tersebut hukumnya batil karena tidak menurut cara yang benar (disyari’atkan oleh agama), maka dianjurkan bagi orang yang berwakaf tadi untuk mengalihkan wakafnya kepada hal lain yang dianjurkan dalam syari’at, kalau seandainya ia tidak mampu maka hendaklah ia ambil untuk dirinya sendiri, semoga Allah menuntun kita selalu untuk mengikut sunnah nabiNya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dan mengikuti para salafus sholih karena keselamatan terdapat dalam langkah mereka.
5. Ungkapan Syaikh Abdul Latif bin Abdur Rahman bin Hasan cucu dari Syaikh Islam Muhammad bin Abdul Wahab dalam keterangannya tentang apa yang dilakukan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dalam berda’wah kepada kebenaran, inilah ungkapan beliau tersebut: sang imam Muhammad bin Abdul Wahab melarang kebiasaan orang-orang di negri tersebut dan daerah lainnya dari membesarkan hari maulid dan hari-hari besar jahiliyah lainnya, yang tidak ada dalil yang memerintahkan untuk membesarkannya, dan tidak pula ada keterangan dan hujah syar’iyah, karena hal yang demikian adalah menyerupai umat nasroni (kristen) yang sesat dalam hari besar mereka baik secara waktu maupun tempat, ini adalah kebatilan yang ditolak dalam syari’at penghulu segala rasul (agama Islam), di kutip dari kumpulan risalah dan masalah para ulama nejed hal: (4 / 440).
6. Jawaban Syaikh Abdur Rahman bin Hasan terhadap sebuah pertanyaan yang dikemukakan kepada beliau tentang mengkhususkan hari maulid dengan berkorban, yang mereka sebut nafilah, dan apa yang dilakuakn pada tanggal 27 rajab mengkhususkannya dengan berpuasa dan berkoban pada hari tersebut, kemudian amalan malam nisfu sya’ban seperti itu juga, apakah hal tersebut haram dilakukan atau makruh atau mubah (boleh)?, apakah wajib bagi pemerintah dan ulama untuk mencegahnya?, apakah mereka berdosa bila diam terhadap hal tersebut?, beliau menjawab: semua hal tersebut adalah Bid’ah, sebagaimana yang terdapat dalam sabda Nabi, bahwa beliau berkata:
"Siapa yang menambah-nambah dalam urusan kami ini (agama ini), sesuatu yang tidak termasuk kedalamnya, maka hal tersebut adalah ditolak".
Dan dalam sabda beliau yang lain disebutkan:
Hati-hatilah kalian terhadap sesuatu hal yang baru dalam agama ini, sesungguhnya segala hal yang baru dalam agama adalah Bid’ah, dan setiap Bid’ah itu adalah sesat.
Dan segala ibadah harus berdasarkan pada perintah atau larangan serta mengikuti sunnah, sedangkan perkara yang di singgung di atas (pelaksanaan maulid), tidak pernah disuruh oleh rasulullah Shollallahu 'alaihi wa sallam, dan tidak pernah dilakukan oleh khalifah ar-rosyidin, sahabat dan para tabi’in, telah disebutkan dalam hadist yang shohih:
Siapa yang melakukan suatu amalan (ibadah) yang tidak ada contoh dari kami maka amalan tersebut ditolak.
Sedangkan segala macam bentuk ibadah yang disinggung diatas tidak ada contoh dari rasulullah Shollallahu 'alaihi wa sallam, makanya ditolak dan wajib diingkari, karena ia termasuk dalam hal yang dilarang Allah dan rasulNya.
Sebagaiman firman Allah Subahanhu wa Ta'ala:
Apakah mereka itu memiliki tandingan-tandingan yang membuat syari’at agama bagi mereka yang tidak pernah diizinkan Allah [Asy syuura: 12]. Sedangkan segala macam ibadah yang disebut di atas adalah bikinan orang-orang bodoh tampa petunjuk dari Allah, hanya Allah Subhanahu wa ta'ala yang lebih mengetahui. (Dinukil dari kumpulan risalah dan masalah para ulama nejed bagian II. Hal: [ 4 / 357-358].
7. Jawaban Syaikh Muhammad bin Abdul Latif ketika beliau di tanya tentang hukum mengeluarkan harta untuk acara maulid nabi. Beliau menjawab perbuatan maulid adalah perbuatan bid’ah, mungkar dan jelek, mengeluarkan harta untuk perbuatan tersebut adalah bid’ah yang diharamkan, dan orang yang melakukannya adalah berdosa, maka wajib dicegah orang yang melakukannya. (dinukil dari ad-durar as-sunniyah Hal: ( 7 / 285 ).
8. Jawaban Imam Asy Syatiby ketika ditanya tentang hal ini. Beliau menjawab adapun yang pertama yaitu mewasiatkan sepertiga harta untuk pelaksanaan maulid sebagaimana yang banyak dilakukan manusia ini adalah bid’ah yang diada-adakan, setiap bid’ah itu adalah sesat, bersepakat untuk melakukan bid’ah tidak boleh, dan wasiatnya tidak dilakukan, bahkan diwajibkan kepada qodhi untuk membatalkannya dan mengembalikan sepertiga harta tersebut kepada ahli waris supaya mereka bagi sesama mereka, semoga Allah menjauhkan para kaum fakir dari menuntut supaya dilaksanakannya wasiat seperti ini. (dikutip dari fatwa Asy syatiby, no: ( 203, 204 ).
9. Ungkapkan Syaikh Muhammad Abdussalam khadhar al qusyairy dalam kitabnya as sunan wal mubtadi’aat al muta’alliqah bil azkar wash sholawaat Hal: 138-139. Dalam fasal: membicarakan bulan Robi’ul awal dan bid’ah melakukan maulid pada waktu itu. tidak boleh mengkhususkan bulan ini (Rabi’ul awal) dengan berbagai macam ibadah seperti sholat, zikir, sedekah, dll. Karena musim ini tidak termasuk hari besar Islam seperti hari jum’at dan hari lebaran yang telah ditetapkan oleh Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa sallam, bulan ini memang bulan kelahiran Nabi Muhammad Shollallahu 'alaihi wa sallam, tapi juga merupakan bulan wafatnya nabi Muhammad Shollallahu 'alaihi wa sallam, kenapa mereka berbahagia atas kelahirannya tapi tidak bersedih atas kematiannya?, menjadikan hari kelahirannya sebagai perayaan maulid adalah bid’ah yang mungkar dan sesat, tidak diterima oleh syara’ dan akal, kalau sekiranya ada kebaikan dalam melakukannya tentu tidak akan lalai dari melakukannya Abu bakar, Umar, Ustman dan Ali serta para sahabat yang lainnya, dan para tabi’iin serta para ulama yang hidup setelah mereka, maka tidak ragu lagi yang pertama melakukannya adalah kelompok sufisme yang tidak punya kesibukan yang senang melakukan bid’ah kemudian diikuti oleh manusia-manusia lainnya, kecuali orang yang diselamatkan Allah serta di beri taufiq untuk memahami haqiqat agama Islam.
10. Perkataan Ibnul Hajj dalam kitab Al Madkhal Hal: ( 2 /11, 12 ) setelah ia menyinggung kebiasaan-kebiasaan jelek yang dilakukan oleh orang-orang dizamanya dalam melaksanakan maulid, dan berbagai kebinasaan yang ditimbulkan akibat pelaksanaan tersebut, sekalipun tidak terdapat dalam pelaksanaan maulid tersebut nyanyi-nyanyian, cukup sekedar acara makan bersama saja dengan maksud melaksanaka maulid, bersamaan dengan itu mengajak teman-teman, maka hal tersebut tetap merupakan bid’ah walaupun hanya sebatas niat saja, karena hal tersebut adalah menambah-nambah dalam urusan agama yang tidak pernah dilakukan oleh para ulama salaf yang silam, mengikuti salaf adalah lebih utama dan wajib dari pada menambah niat yang melanggar terhadap apa yang mereka lakukan, mereka adalah manusia yang sangat bersungguh-sungguh dalam mengikuti sunnah Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa sallam, dan lebih cinta kepadanya dan kepada sunnahnya, kalau hal tersebut benar tentulah mereka orang yang pertama sekali melakukannya, tetapi tidak seorang pun dari mereka yang melakukannya, kita hanya mengikuti mereka, kita telah mengetahui bahwa mengikuti mereka dalam segala sumber dan keputusan.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Abu Tholib Al Makky dalam sebuah karangannya sungguh telah disebutkan dalam hadist:
Tidak akan terjadi hari qiamat sampai yang ma’ruf di anggap mungkar dan yang mungkar dianggap ma’ruf.
Telah terjadi apa yang diberitakan oleh Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa sallam sebagaimana yang telah kita sebutkan di muka, dan yang akan kita bicarakan pada berikut ini: mereka berkeyakinan apa yang mereka lakukan tersebut adalah ketaatan, siapa yang tidak melakukan apa yang mereka lakukan berarti telah lalai dari ketaatan dan kikir, sungguh ini musibah yang telah menimpa.
Ibnul Hajj menambahkan lagi sebagian penyair telah menceritakan keadaan zaman kita ini dalam syair mereka:
Telah pergi orang-orang yang dicontoh perbuatan mereka, Orang-orang yang mencegah bagi segala perbuatan yang mungkar, Tinggal aku bersama orang-orang yang dibelakangan Yang saling memuji sesama mereka, agar tertutup kejelekan masing-masing, Anak ku! sebagian orang telah menyerupai binatang, Sekalipun kau lihat ia berpostur manusia mendengar dan melihat, Sangat hati-hati terhadap segala yang akan menimpa hartanya, Tapi bila agamanya yang dapat musibah, ia tidak merasa, Belajarlah kepada orang alim semoga engkau seperti dia, Orang yang luas keilmuan dan pandangannya.
Bahkan Ibnul Hajj menyebutkan dalam bukunya tersebut, Hal: 25. berbagai macam ketimpangan yang terdapat dalam maulid tersebut, sehingga sebagian mereka meninggalkan maulid karena melihat berbagai macam pelanggaran yang terdapat di dalamnya, dan melaksanakan maulid dengan membaca shohih bukhary sebagai ganti darinya, tidak diingkari bahwa membaca hadist merupakan ibadah dan memiliki keberkatan, tetapi harus dilakukan dalam bentuk yang digambarkan syara’ (agama).
11. Perkataan Ibnul Qoyyim dalam kitabnya I’lamu Al Muwaaqi’in Hal: ( 2 / 390-391 ).
jika ada yang bertanya, dari mana kalian mengetahui bahwa Rasulullah tidak melakukannya, tidak ditemukannya dalil tidak mesti perbuatan tersebut tidak ada.
Pertanyaan seperti ini menunjukkan bahwa orang tersebut tidak mengetahui petunjuk dan sunnah Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa sallam serta apa yang beliau sampaikan, kalau pertanyaan ini benar dan dapat diterima, tentu akan ada yang berpendapat dianjurkannya azan untuk sholat tarawih, dengan alasan yang sama, dan datang lagi yang lain menganjurkan mandi setiap sholat, dengan alasan yang sama juga, dan seterusnya maka terbuka lebarlah pintu bid’ah, setiap orang yang melakukan bid’ah akan berkata: dimana anda mengetahui bahwa hal ini tidak dilakukan Rasulullah.
12. Jawaban Al Hafizh Abu Zur’ah Al ‘Iroqy ketika ditanya tentang orang yang melakukan maulid apakah dianjurkan atau makruh?, apakah ada dalil yang memerintahkannya?, atau pernahkah dilakukan oleh orang yang dicontoh perbuatannya?.
Ia menjawab: memberi makan orang yang lapar dianjurkan dalam setiap waktu, apa lagi bergembira atas munculnya cahaya kenabian pada bulan yang mulia ini, tapi tidak kita temukan seorang pun dari generasi salaf (para ulama yang terdahulu) yang melakukan hal demikian, sekali pun sekedar memberi makan orang yang kelaparan. Lihat tasyniiful Azan hal: 136.
13. Fatwa Abu Fadhal Ibnu Hajar Al ‘Asqolany tentang hukum maulid yang dinukil oleh As suyuthy dalam kitabnya Husnul maqsad fi ‘amalil maulid di situ Ia katakan: asal perbuatan maulid adalah bid’ah tidak seorang pun dari generasi salafus sholeh yang melakukannya dalam tiga abad pertama. Lihat Al hawy lil fatawa hal: (1 / 196).
14. Fatwa Syaikh Zhohiruddin Ja’far Al Tizmanty tentang hukum maulid: melakukan maulid tidak pernah dilakukan oleh generasi Islam pertama dari salafus sholih, sedangkan mereka adalah orang yang jauh lebih menghormati dan mencintai nabi Shollallahu 'alaihi wa sallam, yang mana kecintaan dan penghormatan salah seorang diantara mereka terhadap nabi Shollallahu 'alaihi wa sallam, tidak terjangkau oleh kita sekarang ini, walau hanya secuil. Ungkapan ini dinukilkan dari Ibnu At Thobaakh dan Al Tizmanty oleh pengarang kitab Subulul huda war rosyad Fi sirah khairil ‘ibad hal: (1 / 441-442).
15. Di antara dalil bahwa salafus sholeh tidak pernah merayakan hari maulid nabi Shollallahu 'alaihi wa sallam.
Yaitu perbedaan pendapat yang timbul dikalangan mereka dalam menentukan hari lahirnya nabi Shollallahu 'alaihi wa sallam. Sebagaimana telah disinggung oleh Abu abdillah al hifaar dalam pembicaraannya, yang dinukil oleh pengarang kitab Al Mi’yaar hal: (7/ 100). Yang berbunyi Dalil yang menunjukkan bahwa orang-orang salaf (generasi Islam yang pertama) tidak pernah membedakan antara malam maulid dengan malam-malam yang lainnya yaitu perbedaan mereka dalam menentukan malam tersebut, sebagian berpendapat pada bulan Ramadhan dan sebagian yang lain berpendapat pada bulan Rabi’ul awal, kemudian mereka berbeda pendapat lagi tentang tanggalnya dalam empat pendapat, kalau seandainya mereka melakukan ibadah tertentu pada hari lahirnya nabi Muhammad Shollallahu 'alaihi wa sallam, tentu hari tersebut diketahui secara masyhur dan tidak akan terjadi perbedaan pendapat tentang hari tersebut.
16. Ditambah lagi di balik itu semua bahwa hari kelahiran nabi Muhammad Shollallahu 'alaihi wa sallam adalah bertepatan dengan hari kematiaanya, tidak lah bergembira lebih utama dari bersedih pada hari itu, sebagaimana yang diungkapkan oleh sebahagian ulama diantara mereka Ibnul Hajj dan Al Fakihaany.
Telah disebutkan oleh Ibnul Hajj dalam kitab Al Madkhal hal: (2/ 15,16) ketika ia berbicara tentang maulid: yang sangat mengherankan kenapa mereka bergembira ria untuk kelahiran nabi Shollallahu 'alaihi wa sallam! sedangkan kematiannya bertepatan pada hari itu juga, dimana umat mendapat musibah yang amat besar, yang tidak bisa dibandingkan dengan musibah yang lainnya, yang layak hanya menangis, bersedih dan setiap orang menyendiri dengan dirinya, karena Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa sallam bersabda: hendaklah kaum muslimn itu teguh dalam segala musibah mereka, musibah yang sebenarnya adalah kematian ku.
Ketika Rasulullah menyebutkan bahwa musibah yang sebenarnya adalah kematian beliau, menjadi hilang segala musibah yang menimpa seseorang dalam kondisi apa pun, tanpa meninggalkan kesedihan.
Sangat indah kata-kata sajak yang dituturkan oleh Hassaan dalam kematian Rasulullah:
Hitam kelam pandanganku
Hitam atas kepergianmu
Ku relakan kematian selainmu
Kecemasanku hanya atas kepergianmu.
Kalau kita perhatikan apa yang dilakukan oleh kebanyakan orang pada bulan tersebut (Rab’iul awal) jusru mereka bergebira-ria dan berjoget-joget, bukannya menangis dan bersedih kalau ini yang mereka lakukan akan lebih tepat dengan suasananya, supaya terhapus dosa-dosa mereka, karena bersedih dan menangis atas kepergian nabi Muhammad Shollallahu 'alaihi wa sallam, akan menghilangkan dosa-dosa dan menghapus bekas-bekasnya. Sedangkan kalau seandainya mereka lakukan ini secara rutinitas juga merupakan bid’ah, sekalipun bersedih atas kepergian nabi Shollallahu 'alaihi wa sallam wajib bagi setiap muslim, tetapi bukanlah dengan cara berkumpul untuk melakukan hal yang demikian, sekalipun meneteskan air mata itu lebih baik, tapi kalau tidak mungkin cukup dengan bersedih hati saja, yang melatar belakangi pendapat ini adalah karena mereka melakukan kegembiraan yang membuat jiwa mereka terlena dengan bersenda-gurau, jogetan, gendrang dan seruling, berbeda dengan menangis dan bersedih yang bisa membuat jiwa mereka tersendu dan menahan diri dari berbagai macam syahwat dan kesenangannya.
Jika ada yang berpendapat : Saya melakukan maulid karena merasa bahagia dan gembira atas kelahiran nabi Muhammmad Shollallahu 'alaihi wa sallam, kemudian pada hari yang lain saya khususkan untuk upacara kesedihan atas kematiannya.
Jawabannya adalah: telah kita sebutkan di atas seseorang yang mengadakan jamuan makan saja dengan niat maulid dan mengajak teman-temannya, maka hal ini dianggap bid’ah, yaitu suatu pebuatan yang secara lahirnya kebaikan dan ketakwaan, maka bagaimana lagi dengan orang yang mengumpulkan berbagai macam bid’ah dalam sekaligus, terlebih lagi yang melakukannya dua kali, sekali untuk bergembira dan kali yang lain untuk bersedih?. Maka semakin bertambah dengannya bid’ah, dan semakin banyak ia mendapat celaan dalam agama. Wallahu a’lam.
Berkata Al Faakihaany dalam kitabnya Al Maurid fi ‘Amalil Maulid: Sesungguhnya bulan kelahiran nabi Muhammad Shollallahu 'alaihi wa sallam, bertepatan dengan bulan kematiannya, maka tidak lah bergembira lebih utama dari pada bersedih pada bulan tersebut.
Dengan kutipan ini menjadi jelas bagi kita bahwa salafus sholeh tidak pernah melakuakan maulid nabi, tetapi mereka meninggalkannya, tidak mungkin mereka meninggalkannya kecuali karena hal tersebut tidak ada nilai kebaikan di dalamnya.
Karena itu dinilai suatu perbuatan terpuji yang dimiliki oleh para raja dan penguasa yang telah berusaha melarang bid’ah tersebut, dan memberikan hukuman bagi orang yang melakukannya. Sebagaimana dalam kitab tarikh Al Islam, hal: (4 / 181). Al Afdhal -semoga Allah merahmatinya- memiliki berbagai amal kebaikan dalam memperbaiki keadaan kaum muslimin diantaranya ia telah menghapus upacara maulid nabi Shollallahu 'alaihi wa sallam, upacara maulid fathimah, upacara maulid Ali, dan upacara maulid khalifah Al qoim biamrillah.
Sebagaimana yang disebutkan oleh pengarang -asy syaukany- dalam kitab ini hal: (50).
Ketika ia memuji khalifah Al mahdy lidinillah bin ‘Abbas Al Mashur, dan menganjurkan khalifah sesudahnya supaya melarang pelaksanaan upacara maulid.
Siapa yang dijadikan Allah sebagai pemimpin terhadap suatu negri, hendaklah jangan sampai melaksanakan bid’ah yang telah dihapus Allah, terutama di jazirah arab, yang telah bangkit para penegak kebenaran yang diberi taufik oleh Allah Subhanahu wa ta'ala- untuk memberantas berbagai bentuk kesyirikan dan bid’ah yang tersebar di sana yang telah berlangsung lebih dari dua abad setengah.
Bilamana pemberantasan bid’ah dinilai sebagai kebaikan yang dimiliki oleh para raja, sebaliknya membiarkan bid’ah tersebar dan diam terhadap orang yang melakukannya dinilai sebagai kejelekkan yang dimiliki penguasa.
Orang-orang yang merayakan maulid mempunyai alasan-alasan dan dalil-dalil, yang paling menonjol adalah:
1. Firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Katakanlah, dengan karunia Allah dan rahmat- Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.”(Q.S. Yunus 58).
Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan kita untuk bergembira dengan rahmat, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah sebesar-besar rahmat, karena
Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman:
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”
(Q.S. Al-Anbiyaa’ 107)
Jawabannya:
Pengambilan dalil dengan ayat ini yang mereka kemukakan tidak pada tempatnya, dan penggunaan ayat yang tidak pada maksudnya, dan mereka menetapkan apa yang tidak ditetapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, orang yang paling tahu tentang Al-Qur’an dan yang paling paham tentang sesuatu yang dikehendaki Allah subhanahu wa ta’ala dari nash-nash Al-Qur’an, pemahaman mereka menyimpang dari kaidah-kaidah syariah yang dipahami oleh As-Salaf Ash-Shalih dan seutama-utama generasi dalam memahami arti dan pengambilan istinbat dari Al-Qur’an, dan Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah menyebutkan perkataan ulama salaf tentang makna dari ayat ini bahwa fadhlullah (karunia Allah) adalah Al-Qur’an sedangkan rahmat-Nya yang dimaksud adalah As-Sunnah.
2. Terdapat dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika sampai di Madinah beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mendapatkan orang-orang Yahudi melakukan puasa Asy-Syura, maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada mereka, mereka menjawab: “Dia itu hari di mana Allah menenggelamkan Fir’aun dan menyelamatkan Musa maka kami puasa sebagai rasa syukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala,
maka beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Saya lebih berhak dari kalian terhadap Musa“. Maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa padanya (pada hari Asy-Syura yaitu hari yang ke sepuluh di bulan Muharram) dan memerintahkan untuk puasa padanya. Mereka berkata nikmat yang mana lebih besar dari nikmat keluarnya Nabi rahmah ke dunia ini pada hari tersebut, dan dengan demikian sebagai rasa syukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas nikmat ini kita harus merayakannya.
Jawabannya:
Pengambilan dalil dengan hadits puasa hari Asy-Syura adalah pengambilan dalil yang batil dan qiyas yang rusak dikarenakan kita bersyukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas nikmat diutusnya Nabi ini bukan atas kelahirannya, saya tambah lagi bahwa puasa hari Asy-Syura disyariatkan dan disukai berdasarkan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan beliau tidak mensyariatkan kepada kita untuk merayakan hari kelahirannya.
3. Apa yang dikeluarkan oleh Imam Baihaqi dari Anas radhiallahu anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meng-aqiqahi dirinya setelah kenabian, padahal kakeknya Abdul Muthalib telah meng-aqiqahi beliau shallallahu ‘alaihi wasallam pada hari ke tujuh setelah hari kelahirannya, maka dapat diambil kesimpulan pengulangan yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah sebagai rasa syukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas lahirnya beliau shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai rahmat kepada seluruh alam dan perbuatan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut sekaligus sebagai syariat kepada umatnya untuk mencontoh beliau shallallahu ‘alaihi wasallam sesudahnya.
Jawabannya:
Imam Malik rahimahullah menjadikan hadits ini salah satu dari hadits-hadits yang batil sebagaimana dinukil oleh Ibnu Rusyd dalam bab Aqiqah dari kitab “Al-Muqaddimaat Al-Mumahhadaat”, dan hadits ini telah dilemahkan oleh para ulama seperti Abdur Razaq dan Abu Daud dari Imam Ahmad dan Ibnu Hibban dan Al-Bazzar rahimahullah dikarenakan lemahnya salah seorang rawi yang bernama Abdullah bin Al-Muhawwar, seumpama hadits ini shahih tetap tidak bisa dijadikan sebagai hujjah.
4. Urwah meriwayatkan bahwa ia berkata tentang Tsuwaibah bekas budak Abu Lahab yang dimerdekakan olah tuannya karena gembira dengan kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian ia menyusui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwasanya beliau bermimpi setelah matinya Abu Lahab bahwa ia di neraka, ketika ditanya tentang keadaannya beliau menjawab ia di neraka tetapi diringankan adzabnya setiap hari Senin karena ia telah memerdekakan Tsuwaibah karena gembira akan kelahiran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka berkata: “Sikapnya terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dilakukan oleh Abu Lahab seorang kafir penduduk neraka, maka lebih pantas lagi dilakukan oleh seorang muslim yang bertauhid yang gembira akan kelahiran beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dan berbuat semaksimal mungkin sesuai dengan kesanggupannya.
Jawabannya:
Hadits ini mursal (salah satu istilah untuk hadits yang lemah) sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dan disebutkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab Fathul Bari, begitu pula mimpi dalam tidur tidak bisa dijadikan hujjah dan ini bertentangan dengan Al-Qur’an yang menyebutkan dalam ayat-ayatnya bahwa amal shalih yang dilakukan oleh seorang kafir tidak dapat memberi manfaat di hari akhirat. Firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.” (Q.S. Al-Furqan 23)
5. Mereka berkata bahwasanya perayaan maulid apabila tidak dikhususkan pada tanggal dua belas Rabiul Awwal atau dilaksanakan di luar bulan Rabiul Awwal atau tidak dikhususkan pada waktu-waktu tertentu maka boleh-boleh saja.
Jawabannya:
Ini pengakuan yang batil dan ucapan yang tertolak karena ibadah dan syariat itu adalah tauqifiyyah (harus berdasarkan nash baik dari Al-Qur’an ataupun As-Sunnah), tidak boleh kita beribadah dengan tata cara tertentu yang tidak terdapat dalam syariat meskipun dalam bentuk dzikrullah, atau membaca sirah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, kenyatannya juga membuktikan bahwa perayaan maulid banyak dilakukan pada bulan Rabiul Awwal.
6. Sesungguhnya maulid itu pertemuan untuk berdzikir, shadaqah, memuji dan mengagungkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam , dan perkara-perkara ini dituntut oleh syariat dan perbuatan yang terpuji, banyak keterangan-keterangan yang shahih menganjurkan hal-hal tersebut.
Jawabannya:
Benar, banyak hadits-hadits yang shahih menganjurkan untuk berdzikir kepada Allah subhanahu wa ta’ala, shadaqah, dan yang lainnya. Tetapi tidak ada satu keteranganpun yang menganjurkan untuk berkumpul secara khusus, dengan bentuk dan waktu yang khusus pula, begitu pula dzikir-dzikir dan do’a-do’a yang biasa dibaca pada malam tersebut tidak ada asalnya dalam syariat dan tidak ada dalilnya dari wahyu, dan bait-bait syair yang dibacakan berisikan hal -hal yang berlebih-lebihan dan kebatilan di dalamnya.
7. Terdapat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang puasa hari Senin, maka beliau menjawab kepadanya: “Dia itu hari di mana saya lahir dan pada hari itu pula wahyu diturunkan kepada saya.” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengagungkan hari Senin dikarenakan hari kelahirannya, kemudian mereka memilih hari kelahirannya yaitu pada tanggal dua belas Rabiul Awwal dengan mengagungkannya dan merayakannya.
Jawabannya:
Yang diminta pada hari Senin setiap seminggu sekali adalah puasanya, tidak lebih dari itu, maka mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan berpuasa di hari Senin saja, tidak terikat dengan tanggal tertentu, sedangkan mereka mengkhususkannya satu hari dalam setahun pada bulan Rabiul Awwal, ditambah lagi bahwa mereka tidak mengagungkan wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk berpuasa pada setiap hari Senin yang mempunyai banyak keutamaan, tetapi mereka mengagungkannya dengan makan dan minum dan menabuh rebana, ini sekurang-kurangnya, padahal sebagaimana telah diketahui olehmu bahwa ibadah itu adalah tauqifiyyah sehingga mengkhususkan hari tertentu untuk beribadah dan bertaqarrub (mendekatkan diri pada Allah subhanahu wa ta’ala) secara tertentu pula membutuhkan kepada dalil syar’i dan nyatanya tidak ada dalilnya atas perbuatan bid’ah tersebut. Dan jangan lupa pula sebagaimana telah kami sebutkan bahwa pada tanggal dua belas Rabiul Awwal adalah hari wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan terputusnya wahyu dari langit ini yang masyhur dari ulama Salaf. Maka katakanlah kepadaku demi Rabbmu apakah engkau merayakan wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam atau hari kelahirannya? Apakah mungkin menyatukan antara keduanya?
Penutup
Sesungguhnya saya yakin bahwa imanmu, ketaqwaanmu, ketaatanmu kepada kekasihmu Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, penguatanmu terhadap syariatnya atas hawa nafsumu dan pendapatmu serta pendapat manusia, saya yakin bahwa hal itu semua mengatakan kepadamu :
"Janganlah kamu merayakan Maulid"
Semoga Allah memberi shalawat dan salam kepada Nabi kita dan keluarganya serta para shahabatnya sekalian.
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan:
“…Dan perbuatan ini (perayaan maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, pent) tidak pernah dilakukan pada masa-masa terbaik umat ini, akan tetapi ini hanyalah perbuatan yang diada-adakan pada abad ke-6 Hijriyah dalam rangka mengikuti Nashara yang merayakan hari kelahiran Al-Masih 'alaihissalam Dan sungguh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melarang dari meniru-niru mereka.” (Al-Khuthab Al-Mimbariyyah, hal. 89)
Jika orang-orang terbaik dari umat ini tidak melakukannya, lalu apa yang menyebabkan seseorang melakukannya? Apakah dirinya merasa lebih tahu dan lebih tinggi ilmunya dari para shahabat? Ataukah dia menganggap para shahabat lebih tahu namun mereka tidak mau mengamalkan ilmunya? Sungguh betapa jelasnya kesesatan yang ia lakukan.
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah juga menyatakan:
“Dan termasuk mengikuti mereka (orang-orang kafir, pent) di dalam perayaan-perayaan baik yang bersifat syirik ataupun bid’ah adalah seperti memperingati perayaan-perayaan hari kelahiran, baik kelahiran Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dan kelahiran para pemimpin atau penguasa. Dan kadang-kadang perayaan-perayaan yang sifatnya syirik dan bid’ah ini diberi nama dengan penyebutan hari-hari atau pekan-pekan. Seperti hari kemerdekaan, hari ibu, atau pekan kebersihan.” (Al-Khuthab, hal. 43)
Menggunakan kalender Masehi (kalender orang kafir) dan meninggalkan kalender Islam (Hijriyyah)
Sebagian besar kaum muslimin saat ini hampir tidak lepas dari kalender Masehi. Bahkan sebagian mereka nampak tidak peduli dengan kalender Hijriyyah. Terbukti, ketika ditanya kepada sebagian saudara-saudara kita kaum muslimin tentang bulan hijriyyah, maka banyak di antara mereka yang tidak hafal atau tidak mengetahuinya. Padahal penggunaan kalender hijriyyah sangat penting, karena banyak berhubungan dengan amalan ibadah seperti puasa wajib dan sunnah, ibadah haji, dan lainnya.
Al-Lajnah Ad-Daimah dalam fatwanya berkenaan seputar tahun 2000 M menyebutkan:
“Kemuliaan bagi kaum muslimin adalah berpegangnya mereka dengan kalender hijrah Nabi mereka Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, di mana shahabat telah menyepakatinya. Mereka menggunakannya sebagai kalender tanpa ada perayaan (tahun baru, pent) dan kaum muslimin telah mewarisinya 14 abad setelah mereka sampai hari ini. Maka tidak boleh bagi seorang muslim untuk berpaling dari kalender Hijriyyah dan mengambil kalender lainnya yang digunakan manusia seperti kalender masehi. Hal itu berarti telah meminta ganti sesuatu yang lebih baik dengan sesuatu yang lebih buruk.”
Dan sesungguhnya beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melarang umatnya dari kebid’ahan:
“Dan hati-hatilah kalian terhadap perkara baru yang diada-adakan, karena sesungguhnya setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap kebid’ahan adalah sesat.” (Shahih, HR. Abu Dawud dan lainnya, dari Al-’Irbadh bin Sariyah radhiallahu 'anhu).
“Barangsiapa mengerjakan satu amalan yang tidak ada perintah kami atasnya, maka amalan itu tertolak.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah radhiallahu 'anha).
Tidak ada satu riwayat pun yang menyebutkan bahwa para Al-Khulafa Ar-Rasyidin atau shahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang lain ataupun ulama-ulama Ahlus Sunnah yang menjadi panutan mengamalkan perayaan maulid ini. Bahkan sesungguhnya bid’ah maulid ini pertama kali dilakukan oleh sebagian orang dari dinasti Fathimiyyin Al-’Ubaidiyyin dari golongan sesat Syiah yang mengaku-aku bahwa mereka adalah keturunan Fathimah radhiallahu 'anha bintu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Jika orang-orang terbaik dari umat ini tidak melakukannya, lalu apa yang menyebabkan seseorang melakukannya? Apakah dirinya merasa lebih tahu dan lebih tinggi ilmunya dari para shahabat? Ataukah dia menganggap para shahabat lebih tahu namun mereka tidak mau mengamalkan ilmunya? Sungguh betapa jelasnya kesesatan yang ia lakukan.
Sumber :
1. Kamus Muhith. Cet. Muassasah Arobiah
2. Lisanul arab. Dar Ihya At-turots Al-aroby.
3. Tajul ‘Arus. Maktabah Tijariyah.
4. Syarh Nawawy Ala shoheh Muslim. Matba’ah Mishriyah.
5. Fathul baary. Cet. As-Salafiyyah.
6. Al-I’tishom. Matba’ah Sa’adah.
7. Qowaidul Ahkam. Cet. Maktabah Kulliyyat Azhariah.
8. Jaami’ul ulum walhikam.Tauzi’ Dar ifta’.
9. Sunan Ibnu Majah. Cet. Al-halaby.
10. Al-badrut Tholi’ Kar.Imam Muhammad bin Ali As-Syaukany. Cet.Dar
Ma’rifah.
11. Qoidah jalilah fit tawassul wal wasilah karya Syekhil Islam. Cet. Matba’ah
salafiyah.
12. Al-jawabul baahir fi zuwwaril maqobir karya Syekhil Islam. Cet. Matba’ah
salafiyah.
13. Majmu’ fatawa Syekhil Islam Ibnu Taimiah.
14. Tobaqot As-Syafi’iyyah karya Ibnu Qody Syuhbah. Cet. Alamul kutub.
15. Siyar A’lamin Nubala’ Karya Az-Zahaby. Cet. Muassasah Risalah.
16. Al-Bidayah wan Nihayah karya Ibnu katsir.
17. Ar-Roddul Qowy Alar Rifa’i wal majhul wabnu alawy. Karya Syekh Hamud At-Tuwaijiry. Cet. Darul liwa’.
18. Iqtidho-ussirotil mustaqim. Darul majdy.
19. An-Nujum Az-Zahiroh fi tarikh mishr wal qohiroh. Cet. Hai-ah mishriyah
‘ammah lilkitab.
20. Taudhih Mustabihinnisbah. Cet. Muassasah Risalah.
21. Al-Mi’yarul mu’rob. Cet. Darul ghorb tahun 1401 H.
22. Majmu’ah Rosa-il wal masa-il Najdiyah. Cet. Matba’atul manar.
23. Ad-Durorus Saniyah.
24. As-Sunan wal mubtada’at Al-Muta’alliqoh bil azkar was sholawat. Keluaran Darul jil, Bairut. Tahun 1408 H.
25. Al-Madkhal karya Ibnul Haj. Keluaran Darul fikr tahun 1401 H.
26. I’lamul muwaqqi’in. Daruil jil.Bairut.
27. Husnul maqshad ( dirangkap dengan kitab Al-hawy lil fatawy karya suyuthi). Darul baz tahun 1402 H.
28. Subulul Huda war rosyad fi siroti khairil ‘ibad. Karya sholihy.
29. Tasyniful aazan.
30. Fatawa Syathiby. Abi Ishaq Ibrahim. Cet. Ketiga tahun 1406 H.
31. Tarikh Islam, Hasan Ibrohim Hasan. Maktabah Nahdhoh Mishriyah. Cet ketujuh tahun 1965 M.
32. Majmu’ Syarh muhazzab karya Nawawy. Darul fikr.
33. As-Sunan Al-Kubro karya Baihaqy. Darul fikr.
34. Al-Muqoddimat Al-Mumahhadat karya Ibnu Rusyd. Matba’ah Sa’adah.
35. Islam Kaffah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar